Reysa membuka matanya karena merasa terganggu oleh sinar matahari pagi yang masuk lewat jendela yang tirainya sudah terbuka lebar.
Reysa mengutuk orang yang membuka tirai itu.
Namun hal tersebut dia urungkan saat tau bahwa orang itu adalah Reyhan. Cowok yang sekarang memiliki seluruh hatinya. Ya, satu satunya orang yang dia percaya.
Reyhan terlihat sedang menatap pemandangan luar apartment cowok itu. Semalam, Reysa tidak pulang ke kamarnya karena ketiduran di sofa. Kini dia baru sadar kalau tubuhnya tak lagi berada di atas sofa empuk milik Reyhan melainkan di atas kasur cowok itu. Reysa sedikit bingung. Sejak tadi malam, Reyhan lebih diam dari biasanya. Cowok itu lebih banyak melamun dan menatap Reysa dengan tatapan kosong. Jika ditanya kenapa? Reyhan hanya menjawab dengan seadanya.
Reysa bangkit dari tidurnya lalu mendudukkan diri menghadap punggung Reyhan. Cowok itu masih melamun. Sampai-sampai panggilan Reysa tak terdengar.
Reyhan berubah aneh semenjak berbicara dengan Gibran kemarin di rumah sakit. Reysa jadi bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan?
Dengan pelan, Reysa bangkit dari duduknya dan menghampiri Reyhan. Bukan bermaksud aneh tapi dia memang ingin melakukan ini.
Dipeluknya tubuh tegap itu dari belakang. Reysa menelusupkan wajahnya di punggung lebar milik Reyhan sebari berkata "Morning."
Menunggu jawaban dari Reyhan, namun tak kunjung ada. Bahkan Reyhan menghiraukan lengan Reysa yang melingkar di perutnya.
Ini tak seperti biasanya.
"Han, lo kenapa sih?" Tanya Reysa to the point karena memang sikap Reyhan terlalu aneh sejak kemarin.
Yang ditanya hanya menghela nafas lalu berbalik dan dengan otomatis pelukan Reysa terhadap cowok itu terlepas. Reyhan berjalan melewati Reysa begitu saja menuju kearah meja makan.
Reysa mengerutkan keningnya. Berpikir apakah dia melakukan kesalahan yang bisa membuat Reyhan marah. Namun nihil, tadi malam cowok itu masih makan malam bersamanya dan menemaninya nonton film hingga larut malam. Namun sekarang?
"Ada yang mau gue omongin." Ucap Reyhan menyadarkan Reysa dari lamunannya. Reysa langsung berjalan menghampiri Reyhan dan duduk dihadapan cowok itu.
"Go a head."
Jika diteliti, wajah Reyhan terlihat begitu lelah. Apa dia tak tidur semalam? Manalagi cahaya di mata Reyhan seakan redup, bahkan sama sekali tak ada cahaya di sana. Tak ada kehangatan yang selalu terpancar seperti saat menatap Reysa biasanya.
"Lo harus bisa terima keputusan gue. Ini.. Udah gue pikirin mateng-mateng, dan keputusan gue udah bulat,"
Reysa mengangguk dengan ragu. Apa ini tentang pembicaraan yang dilakukan Reyhan dan Gibran tadi malam?
"Kita berhenti aja, Sa."
Satu kalimat itu seakan-akan langsung menghentikan jantung Reysa selama beberapa detik. Otaknya berusaha mencerna perkataan Reyhan tadi.
Berhenti? Putus?
Reysa membisu sesaat, dia masih menatap mata Reyhan dengan tatapan tak percaya dan dengan instan, air mata pun keluar dari persembunyiannya.
"Maksud lo apa?" Tanya Reysa akhirnya saat dia sudah menemukan suaranya kembali.
Reyhan dengan ekspresi yang tak bisa Reysa baca hanya bisa menghela nafas "Kita putus."
Reysa langsung bangkit dari duduknya dan menggebrak meja dengan sekuat tenaga, dirinya sudah terisak sekarang "Maksud lo apaan?!?!"
Reyhan menunduk. Tak mau melihat air mata yang jatuh dari mata indah itu. Dia tak mau keputusannya yang sudah dia pikirkan selama semalaman langsung hancur saat melihat air mata Reysa.
"Lo bilang gak akan ninggalin gue! Sekarang apa, Han?!"
"Ini yang terbaik."
Mendengar itu, Reysa langsung mendengus. " Terbaik?! Buat siapa? Bukan buat gue! Lo payah, Han. Gue kira lo sayang sama gue."
Reyhan terdiam. Reysa langsung dapat menyimpulkan satu hal "Oh, ternyata cuman gue yang berharap terlalu banyak dari lo, ya?"
Reyhan menutup matanya mendengar suara Reysa yang terdengar sangat kecewa.
"Sejak awal emang gak ada yang nyata diantara kita, Sa."
Reysa terdiam. Maksudnya?
"Dari awal kita pacaran buat ngejauhin lo dari Lucas. Jadi gue pikir ini lebih mudah."
"Lo gila?! Jadi selama ini lo nganggep perasaan gue apa?!"
Reyhan diam. Tangannya terulur untuk meraih tangan rapuh yang berada di atas meja lalu meremasnya kuat. "Maafin gue. Kita bisa kembali kaya dulu,Sa. Tanpa ada ikatan. We're friend, remember?"
Reysa menggelengkan kepalanya "gak mau.. Jangan gini.."
Reyhan menghela nafas. "Kak Tara sekarat. I want to make her happy. Walau di saat terakhir."
Reysa menggelengkan kepalanya, dia tak mau mendengar hal itu, dia tak mau berpisah dari Reyhan.
"Cuman dia yang gue punya, Sa. Tolong."
Reysa termenung dan membisu untuk waktu yang sangat lama. Reyhan mengusap wajahnya yang terasa sangat lelah. Entahlah, dia lelah dengan hidupnya ini.
"Apa gak ada jalan lain?" Tanya Reysa
Reyhan menggeleng, kalau ada dia tak akan mengambil jalan ini.
"Kenapa harus Bang Gibran?"
Lagi Reyhan hanya menggeleng. "Maafin gue." Ucap Reyhan.
Reysa kembali menangis " Kenapa harus kaya gini?" Tangis Reysa pun kembali pecah.
Reyhan pun bangkit dan berjalan memutari meja hingga dirinya bisa memeluk tubuh Reysa "Maafin gue, Sa. Ini yang terbaik buat saat ini."
Tak ada jawaban dari Reysa, dirinya hanya menangis di dalam pelukan hangat Reyhan, ini mungkin yang terakhir. Dia tak akan bisa memeluk Reysa seperti ini lagi.
Esok, mereka sudah tak bisa seperti kemarin.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
2 REY
Novela Juvenil"REY!!" Satu panggilan itu mampu membuat dua orang sekaligus berbalik sambil sama-sama berteriak, "APA?!" Semua berawal dari tiga huruf itu.