"Asik banget sih ketawa terus,"
Lely tiba-tiba saja datang dan bergabung dengan Caca yang sedang mengobrol bersama Derin. Lely duduk di tengah-tengah mereka lalu mengelus kepala Caca lembut.
Ya, Malam telah tiba. Sahabat Caca sudah berpamitan pulang karena sudah bermain sejak tadi pagi saat menjemput Caca. Begitu juga Feri, ia berpamitan terlebih dahulu karena sedang ada urusan mendadak.
"Eh, ibu." Ucap Caca tersenyum.
"Kalian akrab banget? Emang sudah temenan lama?" Tanya Lely menatap Derin.
Derin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjawab bagaimana. Apalagi pandangan Lely yang tidak bersahabat.
"Em... Sebenernya sih belum kenal lama. Saya baru kenal beberapa bulan aja tante."
"Beberapa bulan?"
Derin mengangguk ragu, "Iya tan. Kenapa emangnya tan?"
"Kamu kok bisa tahu dan dekat dengan anak saya?"
"Eh?" Pekik Derin tersenyum kikuk. Lagi-lagi diberi pertanyaan yang sulit dijawab. "Itu... Saya ketemu sama Ica pas lagi diatas rooftop sekolah tan. Jadi yaudah temenan deh."
Lely diam memandang Derin. Tak ada senyum diwajahnya membuat Derin semakin kalang kabut. Keringat dingin sudah membanjiri kening Derin.
Derin masih saja tersenyum disela-sela kegugupannya. Padahal di dalam, jantungnya seakan minta untuk dilepas. Apalagi saat Lely tahu kalau Derin yang membawa Caca ke rumah sakit.
Tiba-tiba saja tawa Lely pecah. Caca menatap sang Ibu bingung begitu juga dengan Derin.
Derin mengeryit heran melihat Lely yang tiba-tiba saja tertawa. Padahal sedari tadi beliau hanya terdiam dan menanyai berbagai pertanyaan dengan wajah yang datar, tak ada senyum, tak ada keramahan.
"Bu?"
"Duh, temen kamu lucu banget sih." Ujar Lely disela-sela tawanya.
"Lucu gimana?"
"Derin, kamu saya tanya wajah kamu sudah pucat. Lalu saya tanya lagi, wajah kamu semakin pucat. Apa sebegitu takutnya kamu terhadap saya?"
Derin tersentak, "Ah! Enggak kok tan. Cuma gugup aja."
"Kenapa harus gugup sih? Santai aja sama saya." Ucap Lely tersenyum. "Justru saya mau berterima kasih sama kamu karena sudah menjaga Caca. Saya sempat pasrah sama keadaan putri saya ini saat tak ada kabar."
Derin tersenyum, "Eh? Iya tan sama-sama. Sesama teman harus saling menolong kan? Lagian juga waktu itu kebetulan aja saya ketemu sama Ica."
"Kamu panggil anak saya dengan nama Ica?"
Derin mengangguk.
"Kenapa?"
"Biar beda," Sahut Derin terkekeh. "Gak apa-apa kok tante. Cuma mau panggi dengan sebutan Ica aja. Karena nama Caca udah terlalu sering saya dengar."
Lely tersenyum, "Yasudah. Lanjutin lagi aja ngobrolnya. Tante mau ke belakang dulu."
"Iya tan."
Lely beranjak dari sana dan meninggalkan Caca dengan Derin berdua di ruang tamu. Derin menoleh pada Caca yang dari tadi diam saja.
"Diem aja lo?"
"Lo asik banget sih ngobrol sama nyokap gue. Jadi gak enak mau potong pembicaraan lo berdua."
"Dih?" Derin terkekeh pelan. "Nyokap lo asik. Tadi gue sempet keringet dingin pas ditanyain. Udah takut duluan padahal baik banget."
"Gue juga bingung." Sahut Caca melihat kepergian Lely. "Nyokap gak biasanya gampang akrab sama temen baru gue. Tapi sama lo dia beda. Kayak udah ngebuka celah buat lo bisa lebih deket lagi sama gue."
"Wih? Lampu ijo dong?" Sahut Derin menaik turunkan alisnya.
"Ngarep!" Caca meninju pelan bahu Derin. "Yah, seenggaknya nyokap nerima lo sebagai teman gue. Untuk saat ini."
*****
Ya, Namanya juga hidup. Kadang bisa senang kadang juga bisa sedih. Kadang maunya begini tapi dapatnya begitu. Mau gimana lagi? Memang sudah jalannya.
Caca tiduran di atas kasur empuk miliknya. Malam sudah tiba, sepi itu kembali menyerang. Tadi saat ada kehadiran Derin, Caca kembali ceria. Bahkan guyonan sederhana saja mampu membuatnya tertawa. Derin, laki-laki itu sungguh menggemaskan.
Cuma butuh beberapa bulan saja mereka saling mengenal tapi sikap dan perilaku yang dibuat seakan mereka sudah lama menjalin tali pertemanan. Meski terlihat masih ragu untuk melangkah ke tahap selanjutnya, mereka masih saja stay distatus pertemanan.
Caca senyum-senyum sendiri di dalam kamarnya. Selalu terbayang potongan kisahnya dengan Derin. Apalagi jika mengingat perilaku manis Derin padanya. Rasanya, semua hanya mimpi semata yang tak pernah bisa ia rasakan.
Nyatanya ia salah.
Ini adalah sebuah kenyataan. Bukan ilusi maupun halusinasi. Semua ini memang benar adanya. Mengalir di dalam ketidakpastian kehidupan.
"Derin, lucu banget sih." Gumam Caca menatap langit-langit kamarnya. Senyum terus merekah sepanjang malam tiba.
Mata sayu itu masih saja merekam jelas senyum indah memikat milik Derin. Yang belum tentu orang lain miliki. Sikapnya, senyumnya, tawanya, ah, semua yang ada pada dirinya selalu menjadi candu bagi Caca.
Kalau saja saat itu, saat ia berhenti berharap pada sebuah kenyataan. Kenyataan pahit kalau sahabatnya telah lama pergi, mungkin saja, ia masih berharap akan selalu bersama dengan sahabatnya. Yang sekarang cuma menjadi bagian dalam kenangan manis. Hanya terekam dalam memori dan berputar di kepala jika memang kembali teringat.
Ah, selalu lemah dengan ini. Tak terasa, buliran air mata menyapu lembut pipi Caca.
"Selalu aja begini. Kembali teringat dan hujan turun membasahi. Kalau saja gue sekuat hujan, yang masih mau bertahan meski jatuh berkali-kali."
-----
HALOO HALOO HALOO
SAYA BALIK LAGI BERSAMA CACA DAN DERIN. GIMANA? MASIH MAU LANJUT ATAU TIDAK?AH, KUSUKA
BAIKLAH, TETAP BERLANJUT. TENANG SAJA.
Jangan lupa vote, coment, yaa kawanku.
27 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[NOVEL DIJUAL ONLINE. SUDAH BISA DIBELI DI SITUS BUKALAPAK, SHOPEE, BLIBLI, WEB GUEPEDIA.COM, TOKOPEDIA. SEMUA DENGAN USER NAME GUEPEDIA] Karena mereka tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku. Bagaimana rasanya kala mencintai tetapi tak pernah diakui...