Bagian 21

1.2K 104 8
                                    

Bantu follow, ya. Follow ig;@wattpadisn @bisma.laksana @isnamulu

Semoga harimu baik.

🍭

Derin menghentikan laju kendaraannya saat melihat segerombolan anak cowok yang berada tak jauh dari kostan temannya, Budi. Derin mengernyit, mempertajam penglihatannya saat matanya tak sengaja menangkap siluet seseorang yang dikenalinya.

Derin semakin mempertajam pandangannya dengan jarak yang cukup dekat. Ia turun dari motornya dan menghampiri segerombolan anak-anak itu. Di sana, terjadi baku hantam sesama anak cowok. Mungkin itu hal wajar bagi Derin, karena dia juga cowok. Yang tak wajar adalah ia melihat secara langsung temannya Budi sedang dikeroyok oleh segerombolan anak muda itu.

Derin langsung berlari kencang, menarik baju cowok yang memakai jaket berwarna hitam, yang baru saja mau memukul Budi. Menghempasnya ke samping lalu memberi satu pukulan tepat diwajahnya.

Semua teman cowok yang baru saja Derin pukul tercengang, sedikit kaget dengan kehadiran Derin yang secara tiba-tiba. Derin semakin kesal, emosinya naik begitu saja saat melihat Budi sudah terkulai lemah dengan darah yang bersimpah.

"ANJING!!!" Teriak Derin memukul gerombolan itu satu per satu. Meski mereka membalasnya dengan keroyokan, tapi Derin tak akan menyerah begitu saja.

"BANCI! BERANINYA KEROYOKAN!!!" Satu pukulan mendarat mulus diperut salah satu dari mereka.

Sebagian dari mereka lebih memilih kabur, meninggalkan teman-temannya yang tidak berdaya. Pengecut! Berani hanya keroyokan, tapi jika dilawan langsung kocar-kacir.

Derin kembali memukul lawannya yang sudah tidak berdaya. Kembali memberi satu pukulan tepat dirahang pria itu. Sampai akhirnya, lawannya itu tidak sadarkan diri.

Derin langsung menghampiri Budi yang meringis kesakitan. Melenguh dengan kepiluan. Derin sedikit memalingkan pandangannya saat matanya melihat wajah Budi yang penuh lebam.

"Bud, bangun. Bud," Derin menepuk-nepuk pelan pipi Budi. Matanya masih sedikit terbuka, tapi tenaganya sudah mulai menipis.

"Errngg," erang Budi setengah sadar.

"Bangun, Bud. Ayo gue anterin balik," ucap Derin membantu Budi bangkit. Merangkulnya dan memapahnya berjalan menuju motornya terparkir.

Kemudian mereka pergi dari sana. Kembali ke kostan Budi yang berada tak jauh dari tempat kejadian. Banyak pertanyaan yang terlintas dibenak Derin, tapi cowok itu masih menyimpannya di dalam pikiran. Belum berani menanyai Budi, apalagi saat melihat kondisinya.

Mungkin bukan sekarang, tapi nanti.

*****

"Bud, minum dulu. Nih gue bikinin teh manis, untung di kostan lu ada minuman." Ucap Derin berjalan menghampiri Budi yang berbaring di atas kasur. Sambil menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Budi yang malah asik tidur.

"Bangun, nyet!"

Budi melenguh, lalu mengintip dengan sebelah matanya yang terbuka. Setelah tahu apa yang dia lihat barusan, Budi segera membuka kedua matanya. Berusaha duduk dan mengerjap-kerjap matanya berulang untuk menyesuaikan intensitas cahaya di dalam kamar berukuran 3 x 3 persegi itu.

"Hm," gumam Budi, tak jelas.

"Minum nyet! Susah bener dibilanginnya." Ucap Derin berdecak.

Budi mengambil minum yang diberi Derin, menenggaknya dengan susah payah. Karena bagian sudut bibirnya yang sedikit robek, jadi menyulitkannya berbicara. Derin menghembuskan napas berat, menatap temannya yang seperti itu.

"Lo kenapa sih? Sampe dikeroyok begitu. Ada masalah apaan?"

"Hm,"

"Masalah utang? Atau masalah yang lain? Bilang sama gue, ada masalah apaan lo sebenernya. Gue temen lo, udah seharusnya gue bantu lo. Itu sih, kalo lo mau cerita sama gue." Sahut Derin menggendikan bahunya.

"Hm,"

"Hem ham hem mulu lo!" Kesal Derin mendengar jawaban temannya. "Pake bahasa yang gue ngerti, deh. Jangan pake bahasa planet Pluto."

"Lo gak liat bibir gue? Sakit nyet bakal ngomong doang juga. Lo bawel bener, entaran aja. Kalo kondisi gue udah enak juga gue kasih tau!" Celetuk Budi kesal, jelas dia sudah berusaha dengan menahan sakit disudut bibirnya demi menjawab ucapan Derin.

Derin terkekeh pelan, "Muka lu makin ancur aja, Bud."

"Tai."

*****

Caca sedang menikmati secangkir teh manis hangat di depan teras rumahnya. Menyaksikan sekelilingnya yang ramai dilalui orang-orang. Ya, dia belum terlalu pulih untuk melakukan aktivitas berat. Hanya boleh melakukan kegiatan ringan saja. Tapi, dia tidak begitu mempermasalahkannya. Dia juga tahu jika aturan itu dibuat untuk kepentingan kesehatannya juga.

Caca menyesap teh manis yang masih penuh itu, sambil sesekali mengecek ponsel yang berada di atas meja, di sampingnya. Caca membuka aplikasi pesan, berharap ada sebuah pesan masuk yang dapat memperbaiki moodnya hari ini.

Tapi ternyata, nihil. Tak ada pesan satu pun. Caca menghela napasnya pelan. Tiba-tiba terdengar suara pagar dibuka, Caca mengalihkan pandangannya ke arah gerbang, di sana ada Anis yang baru saja datang. Caca tersenyum, melambaikan tangan pada Anis. Dan dibalas senyum juga oleh Anis.

"Nih, gue bawain makanan. Dari mamah," ucap Anis memberikan sebungkus makanan yang dibawanya tadi. Lalu ikut duduk dikursi kosong sebelah Caca.

"Makasih, ya. Titip salam buat mamah." Jawab Caca tersenyum. Caca meletakkan makanan itu di atas meja, bersebelahan dengan ponsel miliknya.

"Gabut gak?" Celetuk Anis melirik Caca, "Gak bosen di rumah terus?"

"Bosen sih," jawab Caca, "Tapi mau gimana lagi, gue gak boleh kecapekan."

"Taman, yuk?!" Ajak Anis tersenyum hangat, "Biar gak bosen banget. Pasti dibolehin kok sama ibu,"

"Izin dulu, gih!" Ujar Caca menyuruh Anis.

Anis mendengus, tapi tetap menuruti ucapan Caca. Anis masuk ke dalam rumah dan meminta izin pada Lely. Caca tersenyum kecil melihatnya.

"Udah," ucap Anis sudah kembali. "Kata ibu gak apa-apa, asal gak kelamaan aja."

"Yaudah," Caca mengangguk mengerti, "Ayo kalo gitu,"

"Pake jaket lah," saran Anis.

"Mager," sahut Caca memelas. "Gak usah, ya?"

"Pake," kekeuh Anis. Lalu meninggalkan Caca sendiri, Anis masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil jaket Caca. Kemudian kembali lagi menghampiri Caca dan memberikan jaket pilihannya. Mau tidak mau, Caca memakai jaket yang diberikan Anis.

Walaupun menyebalkan, percayalah, Anis merupakan sosok sahabat yang paling mengerti dirinya. Di saat semua orang tidak begitu peduli, dia bahkan lebih peduli dari siapa pun. Ya, sehabis orang tua Caca.

-----

Bagian 20 sudah saya publish. Ya, saya harap kita bisa bekerja sama.

Sama-sama saling menghargai. Kalian memberikan yang seharusnya dan saya memberi yang seharusnya.

Mengerti tidak?

Kalau kurang jelas, maksud saya, saya akan update hts lebih cepat dan kalian perlu mendukung saya dengan memberikan vote dan komentar. Masukan, saran dan kritikan.

Sampai jumpa dibagian selanjutnya.

Selamat malam,

Bekasi, 28 Oktober 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang