Bagian 31

466 69 0
                                    

Setelah kejadian Farel datang ke rumah Beni, membuat Feri menjadi sedikit pendiam. Ia jadi sering melamun, memikirkan perkataan Farel. Tentu saja semua yang dikatakan Farel sulit untuk diterima. Mungkin bukan sulit, tapi hatinya belum siap menerima segala yang baru saja terjadi.

Feri sudah menduga jika suatu waktu kejadian seperti ini akan terjadi. Ia juga sudah menunggunya. Tapi ia tidak menyangka akan secepat ini. Lalu, bagaimana dengan Derin? Apa ia harus menceritakan kedatangan Farel padanya? Ah, ia rasa perlu.

"Nih ya, kalo menurut gue. Ucapan bokap lo tuh gak ada yang salah. Sebagai orang tua, mereka kepengen anaknya balik lagi ke rumah. Ngumpul bareng keluarga. Mungkin bagi lo emang sulit karena mereka yang udah bikin lo kayak gini. Tapi, Fer. Menurut gue gak ada salahnya lo mulai menerima kehadiran mereka lagi. Mengulang semua yang udah kalian lewati dalam arti sebuah 'keluarga'. Adek lo juga kangen kan? Lo tega liat dia lebih dalam lagi terluka. Meski gue tahu, di sini, lo yang paling dalam nanggung luka."

Feri menoleh, Beni datang dengan membawa dua gelas kopi panas. Ia memberinya satu pada Feri dan langsung diambil olehnya. Feri mengangguk samar.

"Nanti gue pikirin lagi,"

"Apa yang mau lo pikirin lagi, sih?" Celetuk Budi.

"Semuanya. Lo gak tahu seberapa dalam mereka narik gue sama Derin ke jurang penuh luka. Mereka gak akan tahu gimana rasanya jadi gue. Apalagi setelah kejadian dua tahu lalu, lo tahu sendiri alasannya."

"Tapi gak baik, Fer. Gak baik lo nahan semuanya lebih lama lagi. Kasihan Derin yang mau ngerasain hangatnya sebuah keluarga."

"Lo pikir gue enggak?" Sahut Feri melirik Beni. "Gue lebih pengen, Ben. Dari dulu, sejak mereka buang gue gitu aja."

Beni terdiam. Ia menyesap kopi panas ini perlahan. Uap panas menguap begitu terlihat di dalam cangkir berwarna putih yang dipegang Beni.

"Ya udah, gue juga gak bisa maksa lo. Posisi gue cuma temen lo, gue juga gak tahu gimana rasanya jadi lo. Gue cuma denger cerita lo, ngebayangin apa yang lo rasain. Tapi gue gak pernah benar-benar merasakan apa yang lo rasa."

"Ben, bukan gitu maksud gue. Gue---"

"Gak, Fer. Lo bener." Beni memotong perkataan Feri. Membuat cowok itu menatapnya takut. Takut Beni membencinya. "Gue cuma teman lo. Teman yang gak tahu apa yang temannya sendiri rasakan. Gue gak tahu gimana besarnya usaha lo buat bangkit dari rasa sakit yang pernah lo alami. Gue sadar, gue mah gampang ngomong doang. Gampang nyuruh lo buat Nerima semuanya. Gampang minta lo buat ikhlas. Tapi gue gak pernah tahu buat lo, semuanya memang gak mudah. Semuanya terasa sulit ketika semua kenangan buruk yang lo rasain hadir kembali."

*****

"Kenapa?" Derin bertanya. Kakaknya tiba-tiba saja datang ke kosan Budi untuk menemuinya.

"Gue mau ngomong penting."

Derin melirik Budi, membuat Feri mengikuti arah pandang Derin. Seperti mengerti maksud anak itu, Feri mengangguk tidak apa-apa. Budi berusaha menulikan pendengarannya.

"Kemaren bokap dateng ke rumah Beni. Ketemu sama gue,"

"Hah?" Pekik Derin.

"Farel dateng, menemui gue. Dia bilang mau semuanya kembali seperti semula. Dia mau lo sama gue balik lagi ke rumah itu dan tinggal di sana. Bersama mereka."

"Serius?"

Feri mengangguk, "Gue gak jawab. Gue gak bisa balas perkataan Farel. Itu semua terasa sulit bagi gue."

Derin tergagu. Semuanya menjadi semakin rumit.

"Terus gimana?"

"Lo mau balik lagi?"

"Apa bisa?" Balas Derin membuat Feri terdiam. Feri menunduk, memijat pelipisnya yang tidak pusing. Tapi pikirannya yang terasa berat.

"Maaf, kak. Gue gak maksud,"

"Enggak, lo gak salah." Balas Feri menggelengkan kepalanya pelan. "Itu wajar. Gue gak bisa larang lo kalo emang mau balik lagi. Gue tahu lo kepengen bareng sama mereka lagi, gue juga gitu. Tapi sulit bagi gue, Der. Rasa sakit itu terus melekat sama diri gue."

"Maaf gue gak tahu. Terserah lo mau gimana, gue ikut aja."

"Kenapa?"

"Gue gak bisa ninggalin lo gitu aja. Dua tahun dalam kesepian, mana bisa gue ninggalin lo lagi? Gue mau sama lo aja. Biar mereka ngerti, gimana rasanya kesepian tanpa orang yang disayang."

"Gue gak bisa maksa lo. Semua tergantung sama diri lo sendiri, Der." Balas Feri terkekeh pelan.

Derin diam, menunduk. Tidak mungkin dia meninggalkan kakaknya lagi. Tidak. Tidak akan pernah.

"Sekali pun bisa, gue gak akan pernah mau ninggalin lo lagi. Gue mau sama lo aja,"

Feri menahan napas sejenak. Ia mulai memejamkan mata, mengatur kembali deru napas yang kian menggebu. Perlahan, ia mulai mengangguk menyetujui permintaan Derin. Mungkin ia sendiri yang akan mengatasi masalah ini. Masalah yang sampai sekarang belum berhenti juga.

-----

Sebenarnya semaunya hampir mau selesai. Ini hanya sebagian kecil dari akhir. Terima kasih untuk kalian yang sudah mau membaca kisah Derin dan Caca.

Saya cuma mau kasih tahu,

HTS sedang proses terbit. Jadi, kalian bisa memeluk Derin versi cetak. Hehe, harganya murah kok gak bakalan mahal. Nanti aku kasih tahu ke kalian. Jangan lupa beli, ya.

Salam, semoga kalian menyukainya

Desember, 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang