Bagian 24

332 70 0
                                    

Derin melangkahkan kakinya memasuki ruangan kecil itu, membuka kenop pintu yang tidak terkunci. Gelap langsung menyambutnya, tanpa penerangan, tanpa sinar yang menyoroti wajahnya. Hanya ada silauan sinar lampu dari sela-sela jendela yang mengintip, memaksa masuk ke dalam ruangan itu.

"Apa lagi, sih?"

Derin mencari saklar dari ruangan yang sudah terbengkalai cukup lama itu, meraba dinding dengan perlahan hingga akhirnya menemukan sesuatu yang sedang dia cari. Kemudian Derin menekan saklar itu, membuat lampu di ruangan itu menyala. Sorot cahaya remang langsung menyambut barang-barang yang ada di dalam ruangan rahasia itu.

"Gue bahkan hampir lupa kalo punya ruangan kayak gini, gila." Gumam Derin berjalan lebih dalam memasuki ruangan itu. Memutari ruangan yang sudah lama tidak dia pijak.

Hingga matanya terkunci pada pigura cantik yang sudah berdebu, sudah lama tidak dibersihkan. Sebab ruangan ini yang sudah dilupakan.

"Ini..."

Foto itu! Orang yang ada di dalam foto itu mengingatkannya pada keharmonisan keluarga yang seharusnya menjadi keluarga seutuhnya. Foto itu membawanya kembali pada moment-moment indah yang pernah dia lewati bersama 'keluarga' yang harmonis. Canda tawa, derai tawa, susah senang, semua seperti tak luput dari gambar yang menunjukkan betapa bahagianya orang yang berada dalam bingkai itu.

Foto keluarga yang terlihat baik-baik saja. Ayah yang terlihat gagah, tegas dan peduli. Ibu yang terlihat sangat cantik, menawan, dan mempesona. Seorang kakak yang terlihat dewasa dan adik yang sangat menggemaskan. Ah, semua itu cukup baik dipandang dalam sebuah pigura.

Hingga suara langkah kaki yang keras membuat Derin memalingkan wajahnya kasar. Membuang ingatan yang indah itu, menepikan rasa yang seharusnya sudah mati membeku.

"Ternyata di sini," ucap orang itu.

Derin menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Lo ngapain?"

"Mampir," ceplos Derin, "Sebentar aja, gue kangen."

"Sama rumah ini?"

"Bukan," bantah Derin, "Sama foto ini." Tunjuknya pada pigura yang baru saja dia lihat. "Bagus, ya. Mereka keliatan bahagia, gak ada kesedihan yang terpancar, gak ada rasa bersalah yang besar. Keliatan gak ada beban, keliatan baik-baik aja, saling menyayangi."

Orang itu mendekat, ikut memperhatikan orang-orang yang berada dalam pigura itu. Tersenyum miris, sekelabat bayangan itu kembali menghantuinya. Ya, dua orang yang saling merindukan masa yang sama.

"Andai--"

"Gak ada kata andai." Potong Derin. "Gak ada pengandaian untuk foto itu. Gak ada, kak, gak akan ada. Itu udah lama banget terjadi, semuanya udah beda. Yang difoto, gak akan pernah berubah. Walau kenyataannya, sekarang semua terlihat beda. Rasanya, lebih baik menjadi seseorang dalam foto daripada dalam kehidupan, layaknya, di foto masih bisa terlihat tidak terjadi apa-apa, baik-baik saja."

"Ya... Seandainya," balas Feri. "Seandainya memang bisa kayak gitu, Der. Tapi sayangnya gak bisa. Kita dipaksa jalanin hari yang seharusnya kita jalanin. Gak bisa milih takdir, gak bisa nentuin takdir kita sendiri. Kalau Tuhan udah bilang buat kita bertahan dan berjuang di antara rasa sakit dan harap, kita harus menjalaninya. Sampai akhirnya Tuhan nyuruh kita berhenti. Berhenti untuk berharap kalau suatu saat, semua dapat berubah. Semua dapat seperti semula."

"Haaaaahhh!"

"Udah, ya." Feri menepuk pundak Derin. "Gak usah masuk lagi ke ruangan ini. Cuma bikin luka lama itu kebuka lagi, rumah ini udah bukan lagi milik kita, mereka juga udah bahagia. Tanpa kita."

"Tapi, kak.."

"Iya gue ngerti. Gue tau lo sayang sama nyokap bokap, tapi apa bisa kayak gini terus? Emangnya lo kuat? Lo aja sering kabur dari rumah, pergi ke kostan teman atau ga ke tempat gue. Masih mau bilang kalau kuat jalanin hari yang menyakitkan di tempat yang sama?"

"Iya.. iyaa.. gue ngerti." Ucap Derin pasrah. Ikut meninggalkan ruangan kecil itu. Menutup kembali luka yang terbuka bersamaan dengan rindu. Feri benar, tidak seharusnya dia bertahan untuk menyakiti diri sendiri. Dia berhak pergi, berhak bahagia. Keluarganya memang sudah hancur, mau diapakan juga memang sudah begitu adanya. Mau berjuang lagi juga percuma. Toh, yang berjuang cuma diri sendiri sedangkan mereka sudah malas untuk mengakui. Meski kadang kebutuhan masih mereka penuhi, so, yang dibutuhkan seorang anak hanya kasih sayang dan waktu orang tua, bukan? Tapi kenapa, bagi mereka, rasanya sulit.

*****

"Bukan begitu, To. Lu ngasal aja jadi orang!" Ketus Anis kesal memandang Seto yang masih saja sulit diberi tahu.

Pasalnya, mereka sedang membuat sebuah anyaman dari bambu. Anis menyuruh Seto membuat sebuah keranjang atau tidak tempat pensil yang dilapisi kain flanel. Tapi Seto malah membuat mainan pistol-pistolan dan melupakan tugasnya. Membuat Anis naik darah dan selalu ingin marah-marah.

"Apa lagi sih? Ini gue udah bantu bikin anyaman, Nis. Lo marah-marah mulu!"

"Iyalah gue marah! Gue gak nyuruh lo bikin mainan pistol-pistolan, Seto!" Kesal Anis menunjuk-tunjukkan pistol itu dengan bambu yang sudah terpotong. Sebal dengan perbuatan Seto.

"Ini juga anyaman!" Seru Seto tak mau kalah. "Judulnya bikin karya dari bambu. Ini juga karya, pistol dari bambu. Kayak pletokan tau!"

"Pletokan apaan lagi?!" Gerutu Anis.

"Itu.. mainan yang dari bambu. Yang diisi pake kertas basah terus didorong pake bambu biar keluar kertasnya. Semacem pistol lah, masa gak tau sih? Norak bener."

"Heh! Bodo amat. Gue juga gak peduli."

"Harus peduli lah!" Bantah Seto nyolot. "Kalo gak ada rasa kepedulian mana bisa kita hidup saling membantu."

"Setooooo!!" Pekik Anis frustrasi. Menyerah sudah, dia mengangkat tangan tidak peduli lagi dengan apa yang Seto perbuat. Tugas kelompok semacam ini hanya membuatnya naik pitam, kenapa juga dia harus sekelompok dengan Seto yang menyebalkan.

Seto tertawa renyah, lalu menganggukkan kepalanya. "Iya.. iyaa..  maaf deh."

"Tau ah." Kesal Anis.

"Dih, ngambek,"

"Bodo." Ketus Anis.

"Anis," panggil Seto memandang Anis. "Jangan ngambek, nanti gue malah tambah suka."

"Ngayal!"

"Dih, serius. Nanti kalo gue udah suka sama lo, harus tanggung jawab, ya. Jangan pas udah sayang malah ditinggal,"

"Emangnya gue itu elo!" Decak Anis, membuang muka, malas menatap Seto yang terus mengerjainya.

"Gue kenapa?"

"UDAH SAYANG TERUS DITINGGAL!"

"Kasian..." Ucap Seto menggelengkan kepalanya. Berdesis pelan, menatap Anis yang menyedihkan.

"APA LO?!" Nyolot Anis. "BUKANNYA MIKIR, MALAH NGATA. UDAH SALAH, BUKANNYA MINTA MAAF MALAH NGATAIN."

Seto tertawa keras, "IYA GUE JUGA SAYANG KOK SAMA LO."

-----

TAHANNNN!!! TAHANNNN!!!
JANGAN BAPER, OKE?

Lagian apa sih yang mau dibaperin, eh iya, apa ya?

Jangan lupa vote dan komentar, ya.

Terimakasih sudah mau menetap. Semoga harimu baik❤

November, 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang