Bagian 27

255 68 0
                                    

Budi mengepulkan asap ke atas, membiarkan asap itu menyatukan diri dengan alam. Di sebelahnya ada Raja yang juga menyesap benda beracun di tangannya. Mereka sedang duduk santai di depan kosan Budi, menatap ke arah jalanan gang yang ramai dilewati banyak orang.

"Lo tau, gak?" Raja berkata sambil mengepulkan asap putih itu ke atas. "Gue.. merasa bersalah."

"Bersalah kenapa?" Sahut Budi menoleh pada Raja.

"Gue pernah bikin anak orang mati."

Budi terdiam, tubuhnya kaku. Lidahnya kelu, tidak tahu dengan apa yang dirasa. Perkataan Raja mengingatkannya pada perlakuan ia dulu. Betapa bengisnya seorang Budi yang berandal. Budi menatap Ra
ja, cowok itu tidak terlihat seperti orang yang baru saja menyesali sesuatu. Ia bahkan terlihat baik-baik saja.

"Tapi muka lo gak keliatan nyesel, nyet." Cetus Budi mendengus. "Muka lo malah santai aja, kayak gak pernah bunuh orang."

"Tolol," umpat Raja. "Itu karena gue gak mau yang lain sampe tau buruknya gue. Capek anjir dipandang sebelah mata."

"Iya gue tau rasanya jadi lo," balas Budi mematikan rokok yang tinggal sedikit. "Gue ngerti gimana rasanya dipandang sebelah mata. Anjing, jijik."

"Lah, kenapa lo ikutan dipandang sebelah mata sama orang?" Raja memandang Budi, bingung.

"Sama kayak lo," balas Budi tenang.

Raja terdiam, menyimak perkataan Budi. Beberapa detik kemudian, ia baru nalar jika yang dimaksud Budi adalah perbuatannya. Raja menatap Budi, memicingkan matanya. Ia mendengus, tidak menyangka bertemu kembali dengan cowok sepertinya.

Budi terkekeh saat melihat wajah Raja. Ia tahu betul jika cowok itu tidak menyangka akan bertemu dengan orang berengsek sepertinya. Budi tertawa hambar, melirik Raja yang kembali menyulut rokoknya.

"Gue selalu berharap gak ketemu lagi sama orang seberengsek gue, tapi takdir punya jalannya sendiri. Gue ditakdirkan ketemu sama lo, orang yang berengsek kayak gue." Raja tertawa miris.

Budi menyulut rokoknya, terkekeh pelan menatap Raja. "Ya, gue juga berharap hidup gue berubah karena di sekitar gue adalah orang-orang baik. Tapi nyatanya, ada aja bangsat yang muncul."

"Gak ada yang lebih bangsat dari lo." Celetuk Raja.

"Kita sama, jadi lo gak perlu merasa jadi orang paling jahat. Pun gak lebih baik dari gue!"

Raja mendengus, melirik Budi. "Gila!"

*****

Feri berlari saat melihat gedung yang ia anggap sebagai rumahnya kini dihancurkan oleh alat berat. Napasnya memburu, amarah begitu menguasai dirinya. Feri tidak percaya dengan apa yang ia lihat barusan, semua ini bukanlah mimpi.

Feri menarik salah satu petugas bangunan dengan sedikit kasar, membawanya menepi dan menatapnya dengan tajam. Berharap mendapatkan info dari orang itu.

"Siapa yang berani hancurin rumah gue?!" Suara berat mencekam itu keluar dari mulut Feri. Cowok itu berusaha mengendalikan emosi yang siap meledak.

"Maaf mas, ini perintah bos saya." Sahutnya.

"Siapa bos lo?" Nyolot Feri.

Orang itu bingung, ia menatap Feri dengan pandangan mengejek. "Mas siapa, pake nanyain bos saya segala!"

"Jawab doang susah banget!" Ketus Feri masih ngotot.

"Udah, lah. Saya mau kerja lagi mas, gak usah ganggu. Kenal juga enggak," balas orang itu mengibaskan tangannya di udara. Pergi meninggalkan Feri yang terus menatapnya tajam.

Feri berdecih, lalu pergi dari sana. Hancur sudah semuanya, barang berharga, tempat ternyaman, kenangan yang tercipta, suasana yang damai. Feri menggelengkan kepalanya pelan, berusaha tidak meledakkan emosi kepada orang yang tidak bersalah. Ia harus bertindak sebelum semua yang ia punya benar-benar dirampas. Hatinya mengeras, semakin membenci orang yang sudah merusak miliknya. Dan, ia selalu berharap bukan keluarganyalah yang menjadi penyebab semua masalah.

"Kalo sampe gue tau itu tugas lo, jangan pernah berharap bisa kenal gue lagi." Gumam Feri dengan wajah yang mengeras.

*****

Caca masih menangis sesenggukan di taman. Kenangan itu kembali hadir. Ketika ia bersama dengan sahabatnya, dulu. Ah, andai saja waktu bisa diputar kembali, Caca tak akan menyia-nyiakannya.

"Udah, Ca. Jangan nangis lagi," Anis memeluk Caca. Berusaha menenangkan gadis itu. Ia pun bingung karena tiba-tiba Caca menangis. Padahal mereka baru saja selesai bermain di kamar gadis itu.

"Gue kangen..." Lirih Caca.

"Kangen siapa?" Sahut Anis memandang Caca.

"Bastian." Balas Caca memeluk Anis erat. "Gue kangen Bastian, Nis. Gue kangen!"

"Bastian siapa?" Tanya Anis, bingung. Tapi tetap membalas pelukan Caca.

"Anis, gue boleh minta tolong?" Ucap Caca menghapus air matanya. Berusaha kuat dan tidak menangis lagi. Tersenyum meyakinkan jika ia baik-baik saja dan Anis tidak perlu khawatir dengan keadaannya.

"Kemana?"

"Nanti juga lo tau," balas Caca terkekeh dengan suara paraunya.

"Izin dulu, ya. Kalo emang dibolehin yaudah gue anterin. Kalo enggak, gak boleh marah."

Caca diam, tentu saja ia akan marah jika tidak diperbolehkan. Ia kangen dengan Bastian dan harus menemuinya. Jika tidak, rasa itu tidak akan pernah pergi. Tapi Caca percaya, Bastian tidak akan pernah kemana-mana dan akan selalu menetap. Ia hanya perlu bertemu dan melepas rindu. Semoga saja bisa. Semoga.

-----

Bagian dua puluh tujuh sudah siap dibaca! Semoga kalian suka.

Jangan lupa vote dan komentarnya!

Desember, 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang