Bagian 30

974 93 3
                                    

"Gue harus cari tahu tentang Bastian."

"Cari tau gimana si, nyet? Lo tau sendiri itu anak udah almarhum, gimana mau cari infonya." Balas Budi sewot.

"Pokoknya cari tau! Kan masih ada temennya, keluarganya, dan sebagainya. Masa iya gak ada yang tau sedikit pun tentang Bastian."

"Emang lo pikir mereka mau ungkit kematian Bastian yang enggak wajar?" Budi menaikan sebelah alisnya. Membuat Derin terdiam. Budi benar, belum tentu mereka mau memberitahunya.

"Usaha dulu, biar tau hasilnya."

"Tapi udah kebaca, nyet. Hasilnya bakalan sia-sia." Balas Budi santai. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Menghisap dan mengepulkan asap itu agar menyatu dengan alam.

Mereka terdiam, keadaan menjadi hening. Derin sibuk dengan pikirannya sendiri dan Budi tidak begitu peduli dengan yang Derin alami. Bagi dia, masalah ini bukan urusannya. Ia akan membantu sebisanya, tahu batasan dan tidak berlebihan. Ia akan membantu semampunya. Tapi tidak sampai perbuatan yang tidak masuk akal. Seperti yang Derin pikirkan.

Mungkin itu masuk akal. Bagaimana juga menemui keluarga, sahabat, kerabat dekatnya Bastian akan mendapatkan sedikit info meski dengan susah payah. Siapa yang mau mengungkit kembali masa lalu yang suram? Tidak ada. Apalagi tentang kematian. Mungkin juga, sebagian dari mereka malah penasaran kenapa bisa Bastian meninggal karena dikeroyok oleh orang yang tidak dikenal. Mungkin salah sasaran atau... memang ada dendam.

"Woi! Kok pada diem?" Celetuk Raja yang baru tiba. Cowok itu langsung duduk di sebelah Budi, mengambil rokok dan menyalakannya. Menyesap dan mengepulkan asap ke atas.

"Tau tuh si monyet, gak jelas." Balas Budi mengepulkan asap rokok.

"Kenapa, nyet?" Raja bertanya pada Derin yang mendengus kasar.

"Gue mau cari tau tentang kematian Bastian." Balas Derin membuat tubuh raja menegang.

"Bas-- tian?" Tanya Raja terbata.

Derin mengangguk, menatap bingung Raja. "Lo kenapa?"

Raja menggeleng pelan, lalu terkekeh. "Enggak, namanya kayak gak asing."

Derin menggendikan bahu. Tidak memedulikan perkataan Raja. Dia kembali memikirkan bagaimana mengetahui sepercik masa lalu Bastian yang menyebabkan anak itu bisa meninggal ditangan orang tidak dikenal. Malang sekali nasibnya.

*****

Farel mendatangi rumah Beni. Cowok itu cukup terkejut melihat siapa yang datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Ia tidak mengira akan kedatangan tamu yang begitu 'spesial' menurutnya.

"Eh, om. Ada apa?"

"Saya cari Feri." Balas Farel biasa saja. Tapi intonasi suaranya terdengar tegas. Beni terdiam, keadaan semakin menikam.

Lima menit berlalu, hanya segelintir angin yang menghembus menerpa mereka. Tidak ada lagi suara. Farel masih setia menunggu Beni membukakan pintu rumah untuknya dan bertemu dengan anaknya. Beni masih diam, memandang Farel lama. Pikirannya lari kemana-mana.

"Ada, om. Feri ada di dalam. Masuk aja," ucap Beni setelah diamnya beberapa saat. Beni sadar, mereka harus bertemu dan berbicara. Tidak bisa terus menerus lari dari masalah yang ada.

Ia memang tidak tahu pokok permasalahan antara anak dan orang tua yang mereka rasakan. Tapi ia mengerti, sedikit berbicara mungkin akan menyelesaikan masalah yang ada. Apalagi mereka tidak pernah lagi bertemu dan berbicara setelah kurang lebih dua tahun. Setelah kejadian 'itu' berakhir.

"Terima kasih." Balas Farel tersenyum. Ia mengembuskan napas gusar. Tapi kedua kakinya tetap melangkah masuk ke dalam rumah Beni.

Beni mempersilakan Farel duduk di karpet. Rumahnya kecil, tidak ada sofa. Untung saja Farel memahami kondisi Beni. Farel menunggu di sana, duduk manis sambil meneliti rumah kecil yang sedang ia kunjungi. Rumahnya sederhana, mampu bikin nyaman. Siapa saja pasti betah berlama-lama di sini. Begitu juga dengan putra sulungnya, Feri.

Beni kembali dengan membawa dua gelas teh hangat. Ia meletakkan teh itu ke hadapan Farel. Beni duduk di seberang Farel, menatap pria paruh baya yang masih terlihat bugar. Farel tersenyum, menatap beni berterima kasih. Tak lama, Feri datang. Cowok itu datang dengan mengenakan kaos oblong dan celana kolor biasa. Ia baru bangun tidur. Ia langsung duduk di sebelah Beni, menatap malas Farel.

Feri sangat malas bertemu dengan Farel. Kalau bukan karena Beni, ia berani bersumpah tidak akan pernah mau melihat wajah pria itu. Ia terlalu benci dengan hidupnya yang semakin hancur karena pria tua di hadapannya.

"Ada apa?" Feri bersuara lebih dulu. Suaranya tenang, tapi tidak dengan wajahnya.

"Apa kabar, nak?" Tanya Farel. Ia tersenyum memandang Feri, anak sulungnya yang lama tidak bertemu.

Feri berdecih dalam hati. Bahkan setelah apa yang sudah pria itu lakukan, pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Pria itu masih tenang, santai seperti biasanya. Dan, Feri membenci wajah itu.

"Ada apa?" Feri bertanya kembali. Tidak mau berbasa-basi. Ia sangat malas berhadapan dengan orang yang dibencinya. Beni menyenggol lengan Feri, berkata lewat tatapan mata jika ia tidak boleh berbicara seperti itu kepada orang tuanya.

Tapi Feri tidak peduli. Ia terlalu sakit hati untuk memaafkan segala yang sudah pria tua itu lakukan. Jika ia bisa memaafkannya dengan mudah, seharusnya pria itu sudah bisa memaafkannya pula seperti yang harusnya ia lakukan. Tapi ini tidak. Mereka sama-sama tidak ingin saling memaafkan. Membuat mereka saling menyakiti diri sendiri.

Meski sangat benci dengan pria di hadapannya, tidak bisa Feri pungkiri jika ia merindukan sosok itu. Ia merindukan sosok ayah yang selama ini hilang meluap ditelan bumi. Ia merindukan sosok pendamping hidup yang sudah seharusnya ia miliki. Ia merindukannya, semerindu Derin pada kedua orang tuanya.

"Saya mau minta maaf." Farel menghela napas. Ia berhenti sejenak, menatap Feri yang menunduk tidak peduli. Ia tersenyum kecil, kesalahan yang fatal. "Saya tahu saya salah. Saya sudah berlaku tidak adil kepada kamu dan adikmu. Saya sudah melakukan kesalahan fatal yang mungkin tidak akan pernah kamu maafkan. Saya menyesal. Saya ingin semua kembali seperti sedia kala. Ketika kita masih tinggal dalam satu atap penuh kasih sayang. Saya membenci hidup saya yang sekarang. Saya merasa kesepian. Di rumah, hanya ada saya dan istri saya, sedangkan anak-anak saya pergi entah kemana. Anak-anak saya menjauh, meninggalkan kami. Mungkin begini rasanya tidak dipedulikan dengan darah daging sendiri."

Feri menunduk, memalingkan wajah. Ia tidak mau menatap pria di hadapannya. Ia begitu kecewa, tapi ia juga sangat menyayangi pria itu. Terlebih lagi ibunya. Mereka yang sudah merawat Feri sejak kecil hingga tumbuh seperti sekarang.

Dan, semua menjadi rumit.

-----

HALOO SEBELUMNYA AKU MAU KASIH TAU, GAK LAMA LAGI HTS BAKALAN TAMAT. DAN INSYA ALLAH BAKALAN NAIK CETAK, JIKA ALLAH BERKEHENDAK DAN TIDAK ADA HALANGAN. TAPI TENANG AJA.

HTS VERSI WATTPAD DAN VERSI CETAK AKAN BERBEDA. DAN KALIAN BISA MEMELUK DERIN VERSI CETAKNYA.

TERIMA KASIH KARENA TELAH MENETAP DI LAPAK INI. KURASA CUKUP, SEMOGA HARIMU BAIK❤

Desember, 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang