Derin naik ke atas rumah pohon, menemui Caca yang berada di sana. Berharap ia dapat menemukan Caca dan membimbingnya turun ke bawah. Bagaimana juga hari sudah semakin larut dan tidak baik bagi perempuan masih berada di luar rumah.
Derin masuk dengan perlahan, menjinjitkan kakinya hingga tidak terdengar suara langkah kaki.
Tubuhnya sukses membeku, ketika melihat perempuan yang disayanginya sedang meringkuk di pojok rumah pohon. Dengan kepala yang diletakkan di atas lutut. Suara isak tangis masih terdengar, hati Derin ikut tersayat mendengarnya.
"Nanda?" Panggil Derin dengan suara pelan. Berharap gadis itu menoleh dan menatapnya.
"Nan,"
"Nan,"
"Nan--" suara Derin terhenti ketika Caca mendongakkan kepalanya. Kedua mata mereka saling bertemu, mata itu, mata yang penuh luka dan kisah yang kelam. Derin menahan napas sejenak, berusaha mengusir sekelebat rasa takut yang melintas.
"Nan, ayo turun!" Ajak Derin berjalan ke arah Caca. Perlahan dengan sedikit berjaga-jaga.
Caca menggeleng lemah, menolak. Derin menghentikan langkahnya, memandang Caca iba. Kenapa ia baru tiba sekarang, kemana saja ia dari tadi.
"Nan ayo..."
"Nan..."
Derin masih terus membujuk Caca agar gadis itu mau turun bersamanya. Pulang ke rumah meninggalkan rumah pohon di malam yang sunyi. Membiarkan Caca beristirahat dengan nyaman, melupakan malam ini yang penuh luka.
"Enggak mau," tolak Caca menggeleng, "Gue mau cari tahu siapa yang udah bikin Bastian mati."
Derin mengernyit, siapa Bastian?
"Bastian?" Beo Derin terdiam, cukup lama. Membuat Caca memandangnya penuh permohonan. "Bastian siapa?"
"Bastian, sahabat gue!" Bentak Caca.
Derin terlonjak, kaget dengan reaksi Caca. Siapa sebenarnya Bastian bagi Caca? Kenapa Caca dibuat seperti ini karenanya. Apa salah Caca sehingga ia harus menerima semua rasa bersalah. Terlihat jelas di wajah gadis itu, sebuah rasa penyesalan.
"Ayo, turun. Nanti kasih tau gue Bastian siapa."
Caca masih menggeleng, tidak mau menuruti Derin. Membuat Derin semakin bingung dengan kelakuan Caca.
"Nan, nurut sama gue." Ucap Derin berjalan perlahan. Mengelurukan tangan, masih dengan senyumnya, berharap Caca mau menerima uluran tangannya.
Caca menggapai uluran tangan itu, mulai berdiri. Ia menyeka air mata yang masih membasahi kedua pipinya. Berusaha setenang mungkin. Caca menatap Derin yang masih tersenyum, hatinya pilu. Tidak sebahagia sebelumnya.
"Mau pulang..." Lirih Caca.
Derin mengangguk, "Iya, ayok pulang."
Derin merengkuh Caca, menuntun gadisnya turun dari rumah pohon. Wajah Caca sembab, matanya merah, hidungnya merah. Tapi entah bagi Derin Caca masih terlihat cantik malam itu. Meski penuh dengan kebingungan dan kebimbangan.
*****
"Besok-besok jangan dikasih keluar, Tan." Ucap Derin berbicara pada Lely. Ia mengantar Caca pulang, di sebelahnya masih ada Budi. Anis menginap, ia tidur bersama Caca di kamar gadis itu, di lantai dua.
Lely menghela napas berat, berulang kali memperingati Caca agar gadis itu tidak keluar malam hari. Apalagi mereka hanya berdua, perempuan lagi.
"Tante sudah kasih tahu Caca, tapi anak itu ngeyel. Gak tahu, tiba-tiba jadi keras kepala. Tante juga bingung,"
Derin terdiam, ia masih memikirkan tentang Bastian. Apa sebaiknya ia tanyakan saja pada Lely agar ia bisa tahu sedikit tentang Bastian, sahabat Caca.
"Tante, aku boleh nanya?"
Lely menatap Derin bingung, dengan ragi mengangguk mengiyakan. Budi hanya menyimak pembicaraan kami berdua. Duduk manis di sebelah Derin, dengan sesekali menyunggingkan senyum tipis pada Lely.
"Bastian itu... siapa?" Tanya Derin pelan. Ia ragu, jika pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Ia juga takut menyinggung privasi Caca.
"Kamu... tahu dari mana?" Napas Lely tercekat. Seperti baru saja ketahuan menyembunyikan sesuatu.
"Dari Nanda, Tan. Boleh aku tahu sedikit tentang Bastian?"
Lely terdiam, bingung. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Mungkin sudah saatnya Derin tahu, tidak bisa lagi menyembunyikan sesuatu hal yang penting terlalu lama. Bagaimana juga suatu saat mereka pasti akan tahu. Jadi, lebih baik diberi tahu sekarang, oleh orang yang lebih tahu.
"Bastian itu... dia sahabat baik Caca. Sejak kecil, Caca selalu bersama Bastian. Dia sama Caca sudah kayak perangko sama lem, gak bisa dipisah. Apa-apa selalu bersama. Sampai suatu saat kejadian tidak mengenakan terjadi. Bastian berantem sama orang yang gak diketahui identitasnya, sampai..." Bibir Lely bergetar, air mukanya sedih. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi berusaha melanjutkan perkataannya yang menggantung. "Sampai dia... dia... meninggal. Caca terpuruk dan stress. Mungkin, stress dia tadi kambuh karena kangen sama Bastian."
Derin terdiam, membeku. Tidak tahu jika hal berat itu menimpa Caca. Yang terlintas dalam benaknya bukan begitu, ia berpikir jika Caca berpisah jauh dengan Bastian, hanya beda kota atau negara. Tidak tahunya, beda... alam.
Budi yang sedang minum sukses tersedak. Terbatuk mendengar ucapan Lely. Cowok itu menyeka mulutnya, menatap Lely dengan wajah yang sedikit pucat. Derin yang melihatnya pun bingung. Apa mungkin mereka ada... kaitannya?
-----
BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN SIAP DIBACA!❤ SEMOGA KALIAN SUKA YA.
JANGAN AMPE BOSEN, YANG BETAH DI LAPAK INI. KALO BISA MAMPIR KE LAPAK SEBELAH, CERITANYA GAK KALAH SERU KOK.
DESEMBER, 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[NOVEL DIJUAL ONLINE. SUDAH BISA DIBELI DI SITUS BUKALAPAK, SHOPEE, BLIBLI, WEB GUEPEDIA.COM, TOKOPEDIA. SEMUA DENGAN USER NAME GUEPEDIA] Karena mereka tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku. Bagaimana rasanya kala mencintai tetapi tak pernah diakui...