Bagian 15

400 71 0
                                    

Follow ig;
-wattpadisn
•••••••

Pagi ini Seto berniat ingin mengunjungi rumah temannya, Caca. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata. Meski masih satu komplek tapi ia lebih memilih menggunakan motor karena ia ingin mampir terlebih dahulu ke rumah Anis.

Ia mengendarai motornya pelan, berbelok ditikungan depan dan memelankan lajunya saat rumah Caca sudah berada beberapa meter dihadapannya.

Ia mengeryit saat melihat gadis yang duduk lesehan digerbang rumah Anis dengan kepala yang menunduk dan kedua tangan menutupi wajah. Apakah itu Anis? Tapi kenapa ia berdiam disana?

Seto pun menghentikan motornya tepat didepan gadis itu, ia turun dari motor dan jongkok didepan gadis itu yang masih menunduk duduk dibawah jalan aspal.

"Hey? Ngapain disini?" tanya Seto bingung.

Gadis itu mendongak menatap sendu Seto kemudian langsung menerjang tubuh Seto. Memeluknya erat dan menangis semakin menjadi.

Seto semakin dibuat bingung saat tahu gadis itu adalah benar Anis. Dan yang membuatnya tercengang, Anis langsung memeluknya dan menangis sejadi-jadinya.

"Nis, lo kenapa?" tanya Seto membawa Anis ke dalam rumahnya.

Anis masih diam. Ia duduk dibangku teras rumah dengan masih sesenggukan menangis. Matanya sudah bengkak, apalagi hidungnya yang memerah. Seto malah dibuat bingung oleh keadaan.

Seti berjongkok, menghapus air mata Anis yang masih saja manja turun membasahi pipi.

"Lo kenapa?" tanya Seto sekali lagi.

"Caca---"

"Caca? Kenapa?" sahutnya mengeryit.

"Caca-- hi---hilang." sahut Anis dan kembali menangis.

Seto terdiam meresapi ucapan Anis. Seketika kedua bola matanya membulat, kaget.

"Hah?!"

"Caca hilang, To. Kata nyokapnya semalem dia gak pulang!" ucap Anis menutup wajahnya dengan tangannya. "Gue takut, To!"

Seto merengkuh Anis yang kembali terisak. Menenangkannya dengan pikiran berkecamuk. Bagaimana bisa?

"Lo tenang dulu. Jangan nangis terus." sahut Seto mengelus kepala Anis. "Nanti gue cari Caca kemana pun sampai ketemu."

Anis mengangguk dalam pelukan Seto.

"Denis sama Lika udah tau?" tanya Seto menangkup kedua pipi Anis. Anis mengangguk lemah.

"Mereka baru aja tau, dan langsung cari Caca."

"Kalau gitu," ucap Seto menghapus bulir air mata Anis, "Lo diem di rumah, tunggu Caca balik. Gue nyari Caca dulu. Jangan nangis! Gue gak suka liat lo nangis."

Seto langsung beranjak dari sana, menaiki motornya dan melaju meninggalkan perkarangan rumah Anis.

Anis menatap kepergian Seto dengan pandangan kosong. Disatu sisi, ia ingin Seto disini, menemaninnya. Tapi disisi lain, ia tak boleh egois bukan?

*****

Derin berdiri didepan ruangan serba putih itu. Bau khas obat-obatan menyengat indera penciumannya. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah, menunggu kabar gadis yang berada di dalam ruangan itu.

Sebelumnya ia sudah menghubungi Feri agar datang ke rumah sakit dan menemaninya melewati masa-masa sulit.

Ia menjambak rambutnya frustasi, "Arghh!!"

Ia duduk di lantai, menunduk dan menangis. Ia sangat khawatir dengan gadis itu, apalagi saat melihat kondisinya. Gadis itu terlihat rapuh dan lemah.

"Gue mohon, bertahan!" gumam Derin yang masih menunduk. Menangis dalam diam.

"Cengeng!" seru cowok berperawakan dua tahun lebih tua darinya. Cowok itu bersedekap dada menatap remeh Derin.

Derin mendongak, dan mendapati Feri disana.

"Kak!" ucap Derin lirih.

Feri menepuk pundak Derin pelan, "Bangun! Jangan lemah!" ucapnya menarik Derin agar cowok itu duduk dikursi tunggu depan ruangan serba putih itu.

"Gue takut, kak!" seru Derin menatap pintu itu.

"Gak ada yang perlu di takutin. Cewek itu kuat, gak kayak lo yang lemah." sahut Feri santai sambil terkekeh.

Tak lama, dokter keluar dari ruangan itu. Membuat Derin bangkit dan langsung menghampiri dokter itu.

"Gimana dok keadaannya?!" ujar Derin panik.

"Pasien baik-baik saja. Hanya kecapean dan dehidrasi. Sepertinya pasien tidur dalam keadaan yang dingin sehingga membuat tubuhnya mendingin." sahut dokter, "Pasien akan dipindah ke ruang rawat inap. Kalau gitu saya permisi." lanjutnya langsung melongos pergi.

Derin menghela napas panjangnya. Kini ia sedikit lega setelah mendengar penjelasan dari dokter. Ia terdiam memandang gadis yang terlelap begitu damai di dalam ruangan itu. Hingga tepukan singkat di bahunya menyadarkannya.

"Udah gue bilang kalau dia kuat. Lo gak perlu khawatir."

Derin menoleh menatap sendu Feri, "Gue cuma takut dia kenapa-napa, kak."

"Emang dia siapa lo sih?"

Derin terdiam. Caca tentu bukan siapa-siapa jika dilihat dari statusnya. Tapi dari aspek lain, tentu Caca mempunyai tempat yang berbeda dihidup Derin.

"Gak perlu jawab." ucap Feri seakan mengerti keterdiaman Derin. "Biaya administrasi udah gue lunasin. Sekarang lo bisa jaga 'gadis' lo di ruang rawat inap."

Derin mengangguk, "Makasih kak. Nanti uangnya gue ganti."

Feri menggeleng, "Gak perlu! Uang yang lo punya ditabung aja."

"Dan jangan lupa buat kabarin orang tua cewek itu. Mereka pasti khawatir." sambungnya.

Derin mengangguk, "Makasih kak, makasih banget!"

Feri mengangguk lalu pergi dari sana. Keluar dari rumah sakit dan menaiki motor kesayangannya. Kembali ke 'rumah' terdamainya. Jika kalian penasaran dari mana Feri mendapat uang, ia mendapatkan uang setiap bulannya dari seseorang. Ya, ayahnya. Memberikan uang secara diam-diam sebagai rasa keperduliannya.

-----

Huuuuuu, kenapa bisa? Kepo!
Dibaca terus aja ya, kalau penasaran tinggal tunggu part selanjutnya hehe

Jangan lupa vote dan komentar ya teman-temankuu,
18.8.18

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang