Bagian 28

1K 95 5
                                    

Caca pergi bersama Anis saat malam sudah benar-benar hampir larut. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan mereka masih berdiam di rumah pohon. Tempat di mana Caca ingin bertemu dengan sahabatnya, Bastian. Tapi, dari tadi Caca hanya diam, duduk manis sambil memegangi pigura seorang laki-laki. Anis yang melihatnya pun dibuat bingung, tapi ia tetap membiarkan Caca melakukan kegiatan sesukanya.

"Bas, gimana? Di sana... masih sama kan?" Ucap Caca pelan pada foto di dalam pigura itu. Dengan senyum yang masih mengembang.

Anis duduk di sebelah Caca, merangkul sahabatnya karena ia tahu, Caca membutuhkan sandaran. Meski ia masih bingung dengan apa yang terjadi. Anis hanya mencoba memahami yang Caca rasakan agar gadis itu mampu tersenyum di atas lukanya.

"Gue kangen lo, Bas. Gue yakin di sana lo selalu bahagia. Gak pernah sedih, gak pernah luka lagi. Lo pasti selalu senyum, ketawa, bahagia. Yaa, lo... Pasti bahagia."

Suara Caca sudah terdengar lirih, tak lama air mata gadis itu turun. Caca menangis kembali dalam malam yang dingin. Isaknya terdengar memilukan, mampu menyayat hati yang mendengar. Caca masih sesenggukan, mengusap-usapkan jemarinya di atas foto cowok yang tersenyum bahagia.

"Gue gak ngerti kenapa lo bisa secepat itu pergi, tanpa sepengetahuan gue. Lo bilang, kita bakalan lulus bareng-bareng tapi ternyata lo pergi lebih dulu. Ninggalin gue, ninggalin orang tua, ninggalin teman-teman, dan ninggalin dunia."

Tangis Caca semakin pecah, ia terus menangis dalam kesunyian. Anis tidak menyangka jika yang dimaksud Bastian adalah cowok yang berada di dalam pigura itu. Sosok cowok yang tersenyum bahagia tanpa merasakan sakit. Lalu, kenapa Caca menangisi kepergiannya. Atau ada sebab yang tidak Caca ketahui sehingga gadis itu merasakan kehilangan yang mendalam.

"Ca.. udah," Anis memeluk Caca, hatinya ikut teriris. Apalagi, ia tidak tahu jika kehilangan sahabat begitu berat dan membuat sesak. Dadanya pun ikut sakit ketika Caca semakin meraung penuh kesakitan.

"ENNGAAKKKK!!!" teriak Caca menggelengkan kepalanya. "Enggak mungkin... enggak mungkin lo pergi secepat itu..."

"CAAAA!!!" bentak Anis semakin mempererat pelukannya. Air mata Anis sudah lolos dari tempatnya, ikut merasakan sakit yang Caca rasakan.

"GUE KANGEN SAMA BASTIAN, NIS!! GUE KANGEN!!!" teriak Caca melepas pelukan Anis.

Anis tersentak, menggelengkan kepala tidak percaya. Begitu besar rasa yang Caca punya untuk Bastian. Tapi, kenapa ia bisa terlihat baik-baik saja ketika bersama Derin.

"Kalo sampe gue nemuin siapa yang bikin lo mati, gue bisa pastiin orang itu mati ditangan gue, Bas. Lo gak perlu khawatir, dan setelah itu, gue akan cari rumah terakhir lo yang selalu mereka sembunyikan dari gue!" Ucap Caca dengan suara rendah yang mencekam. Tatapannya tajam, ia seperti dirasuki oleh makhluk tak kasat mata. Sehingga terlihat lebih menyeramkan dan bengis.

Anis menjauh dari Caca saat melihat tatapan membunuh Caca. Ia menggelengkan kepalanya berulang, menolak bahwa yang ia lihat adalah sosok Caca. Anis turun dari rumah pohon dan berdiri di bawah, mendongak menatap Caca yang melihatnya dengan tidak suka. Caca kembali masuk ke dalam rumah pohon membiarkan Anis di bawah sendirian.

"Gue gak bisa kayak gini, gue harus telepon seseorang!"

*****

Derin berlari bersama Budi yang menemaninya. Derin mendapat telepon ketika ia sedang bermain dengan Budi, sehingga cowok itu memutuskan untuk menyusul orang itu. Tidak mau membiarkan orang yang ia sayang semakin terluka, apalagi malam sudah semakin larut. Dan, mereka adalah seorang perempuan.

"Nyet!" Teriak Budi mengejar Derin. "Naik motor aja, bego. Kalo lari kapan mau sampe?!"

Derin berhenti berlari, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia menatap sinis Budi, membuat Budi meringis.

"Kenapa enggak bilang?!" Kesal Derin.

"Lo main lari aja!" Sewot Budi. "Tunggu sini, gue ambil motor."

Derin mengangguk menyetujui. Budi berlari kembali ke kosannya, mengambil motor Derin yang terparkir rapi di depan kosannya. Ia mengendarai motor milik Derin, menghampiri sang empu yang sudah jauh lima ratus meter di depan.

Deruan motor terdengar, Derin mendongak menatap siapa yang datang. Saat dipastikan jika itu Budi, ia langsung naik ke jok belakang. Membiarkan Budi yang membawa motornya. Budi melaju dengan cepat ke tempat yang baru saja Derin beri tahu. Tidak ingin memakan waktu lebih banyak sebelum ada yang terluka.

Derin kalang kabut, pikirannya sudah kemana-mana. Ia tidak bisa berpikir jernih jika dalam keadaan khawatir. Ia benar-benar tidak habis pikir jika orang yang ia sayang nekat pergi keluar rumah saat hari sudah terlalu malam.

"Buruan, Bud!" Pekik Derin mendengus.

"Sabar, bego! Lo mau kita kecelakaan?!" Nyolot Budi, ia mendengus, tidak habis pikir dengan temannya. Bisa-bisanya menjadi bego dalam waktu yang singkat.

Derin terdiam dengan pikirannya yang berantakan. Ia berdoa supaya mereka baik-baik saja. Ia berharap agar cepat sampai dan menyelamatkan mereka. Semoga saja semua tidak ada yang luka.

Sepuluh menit berlalu akhirnya Derin sampai di tempat tujuan, Budi mendengus kasar saat ditinggal di pinggir jalan oleh Derin. Sedangkan cowok itu sudah pergi lebih dulu menghampiri seorang gadis yang berdiri sambil menangis di bawah pohon besar.

"Nis?" Ujar Derin, ia masih mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal.

"Derin..." Lirih Anis yang menangis. Ia membekap mulutnya tidak tahan dengan apa yang dirasa. Hatinya semakin sakit melihat Caca yang tidak kunjung turun. Ia tidak berani naik, melihat pandangan Caca saja tubuh Anis sudah bergetar.

"Di mana?"

"Di atas." Lirih Anis. "Hati-hati."

Derin mengangguk patuh. Lalu beralih menatap rumah pohon yang gelap. Ia berharap Caca dalam keadaan baik-baik saja. Seketika emosinya meluap, ia tidak akan memaafkan dirinya jika melihat Caca tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Derin mulai menaiki tangga yang dipaku di pohon dengan perlahan. Sambil naik, sambil merapalkan doa agar semuanya berjalan lancar dan tidak ada yang terluka parah.

Anis menatap Derin yang dengan semangatnya menyelamatkan Caca. Ia hanya bisa menghubungi Derin karena cuma Derin yang terlintas dalam benak Anis. Namun setelah itu, ia sudah menghubungi Seto, Denis dan Lika agar menyusul ke sini. Ia berharap semua baik-baik saja.


-----

Bagian dua puluh delapan sudah siap dibaca!❤

Semoga kalian suka, ya. Dan hm, kuharap kalian tetap betah di lapak ini.

Semoga harimu baik,

Desember, 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang