Bagian 23

1.1K 103 2
                                    

Dingin kembali menyeruak ketika Caca membuka jendela kamarnya di malam hari. Semilir angin berlalu-lalang tanpa permisi menerpa permukaan kulit Caca. Begitu menenangkan, Caca menghirup angin malam yang tenang tanpa ada debu dan polusi. Caca memandang langit yang cerah, dipenuhi dengan bintang berkelap-kelip, bulan sabit yang terlihat indah. Terangnya mampu membuat damai hati yang melihat.

Caca tersenyum kala mengingat kejadian sore tadi saat dirinya bermain dengan Bunga dan Anis di taman. Bunga...  gadis kecil itu sangat superaktif. Berlarian tanpa arah, tertawa dengan guyonan sederhana, main kejar-kejaran, bahkan dia mengajak dirinya dan Anis bermain piknik-piknikk.an. Ternyata gadis itu membawa peralatan main mininya, kami tertawa melakukan kegiatan konyol itu. Yah, itu semua mengingatkan Caca pada masa kecilnya.

Ah, rasanya ingin sekali mengulang segalanya. Sayangnya, takdir tidak memperbolehkannya. Kehidupan yang sekaranglah yang harus Caca jalani, bukan terus berharap agar kejadian masa lalu dapat kembali terulang.

Caca kembali masuk ke dalam, duduk di tepi kasur dan merenung sejenak. Hidupnya sudah banyak berubah, hari-harinya lebih berwarna. Tapi perasaannya, masih belum jelas. Masih samar, masih abu-abu.

Malas berpikir yang bukan-bukan, Caca lebih memilih tidur. Setelah sebelumnya menutup jendela, dan langsung menarik selimut bergegas ke alam mimpi yang nyatanya lebih indah dari sebuah kenyataan.

Malam jadi saksi seorang Caca yang baru saja menemukan kebahagiaannya kembali. Setelah sakit yang menimpanya dulu, pertemanannya yang sempat merenggang dan pertemuannya dengan cowok yang bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya akan bertemu. Ya, karena hari esok adalah sebuah kejutan yang kita tidak ketahui ada sebuah bahagia atau luka yang akan datang.

-----

"Jadi gimana?"

"Gimana apaan?" Budi balik bertanya.

Derin berdecih, menatap Budi kesal. "Jadi gimana? Udah mau cerita ke gue soal kejadian beberapa hari lalu?"

"Yang gue.... dipukulin?" Tanya Budi ragu.

"Iya,"

Budi mengembuskan napas beratnya, mulai bersandar pada dinding dibelakangnya, menyesuaikan posisi duduk ternyaman untuk bercerita.

"Gue juga gak kenal sama mereka," ujar Budi disela helaan napas panjang, "Tiba-tiba aja gue dipukulin. Gue juga gak tau apa masalahnya."

"Masa?" Derin mengernyit, bingung. Ini tidak masuk akal. Masa iya ada orang seperti itu?

"Iya..." jawab Budi pelan. "Gue gak tahu penyebab pastinya. Mungkin.... mereka ada dendam masa lalu sama gue. Lo tau sendiri kan gimana hancurnya gue dulu sebelum kenal lo. Ya, lo beruntung berteman sama gue yang sekarang." Lanjutnya terkekeh miris.

"Bro," tepuk Derin dipundak Budi, "Bukan masalah sekarang atau dulu, bukan tentang gue kenal sama lo udah lama apa baru, ini soal gimana bisa ada orang yang datengin lo cuma karena masalah masa lalu? Segitu dendamnya? Lagian, lo sendiri belum pernah cerita sama gue tentang masa lalu lo. Masa lalu yang menyebabkan dendam itu terjadi. Gak masuk akal, asli."

"Yeeee...." desah Budi pelan, "Gimana, ya? Yakin mau denger?"

Derin mengangguk, menyiapkan posisi duduknya yang paling benar. Agar nyaman terasa saat mendengar Budi bercerita. Sedikit bernostalgia dengan masa lalunya yang suram. Katanya.

"Dulu... gue parah, asli." Ujar Budi mengingat masa lalunya. "Gue ancur, banget. Parah. Gue bukan lagi manusia, gue monster. Gue kelewat nakal, bandel gak ketolong, gue... narkoba. Gue bukan lagi diri gue yang sebenarnya, gue beda, gue jadi orang lain. Bahkan gue gak kenal siapa diri gue saat itu."

"Gue bener-bener rusak, gak bisa lagi dibenerin. Ya, mungkin pemikiran gue saat itu kayak begitu, gak bisa lagi jadi yang lebih baik."

"Semua orang jauhin gue, ngehindar. Mereka takut, malu, mandang gue kayak lihat monster yang siap nikam kapan aja. Gue bukan lagi dipandang sebagai manusia 'normal', tapi gue selalu dipandang perusak, gak berguna, benalu, sampah. Sakit gila!"

"Terus lo diem aja?" Tanya Derin memotong cerita Budi.

Budi menatap Derin sinis, "Lo pikir aja, gue bisa apa sih? Mau ngelawan? Yang ada gue dilawan sama mereka, keroyokan. Mau ngebantah? Apa yang mau gue bantah si? Kan semua itu kenyataan, semuanya fakta. Gue emang udah ancur, gue monster, gue bukan lagi manusia. Gue udah rusak, gak berguna. Gak kepake."

"Bud,"

"Sakit banget rasanya," ujar Budi mengeluh lalu tertawa miris, "Sedih si dulu mah gue kayak beneran gak berguna. Dihujat sana sini cuma bisa diem, pengecut. Gak berani ngelawan, padahal udah ancur. Gue kayak boneka yang mau diapain aja padahal gue punya perasaan. Gue bisa sedih, gue bisa sakit hati, gue bisa terluka, gue bisa kecewa. Tapi sayangnya, sebagian besar dari mereka gak perduli sama apa yang gue rasain. Mereka tetaplah mereka, yang selalu mandang gue sebagai sampah. Sampah. Sampah. Ngerti sampah kan?"

"Bud,"

"Apalagi? Mau tau alasan orang-orang itu nyerang gue? Balas dendam? Benci yang berkepanjangan? Ya, semua emang bener. Dulu, salah satu temen dari mereka pernah berantem sama gue. Lo tau laki kalo berantem kan? Gue adu fisik, main sajam juga. Disitu gue gak mandang bulu, gak inget mati, gak inget dosa, pokoknya bodoamatlah, gak perduli sama apa yang bakalan terjadi."

"Gue nusuk dia, Der. Gue bunuh dia, dia mati, dia udah gak bernyawa." Lanjut Budi tertawa miris, "Gue pembunuh, Der. Pembunuh. Dan lo berteman sama pembunuh. Lo temenan sama orang yang gak punya hati, lo temenan sama orang yang gak punya otak, mantan narapidana, gak ada bagus-bagusnya. Gue mah sampah, gak guna. Gue aja gak pernah ngebayangin bakalan punya temen. Hahaha,... Gila ya?! Disaat semuanya mulai sedikit berubah, perlahan dalam hidup gue mulai membaik, mereka malah dateng lagi. Ternyata masih dendam, belum puas nyelakain gue. Gak ada bosannya, gak ada capeknya, mereka malah seneng bikin gue kayak gini."

Budi terdiam, begitu juga Derin. Keduanya sama-sama terdiam, larut dalam pemikirannya masing-masing. Derin terlalu shock, tentu. Kenyataan yang selama ini disembunyikan Budi darinya akhirnya terbongkar. Apalagi ini? Akhirnya Derin tahu apa penyebab Budi bisa dikeroyok sampai luka seperti itu. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia pun bingung harus berkomentar seperti apa, sebab ini diluar dugaannya. Ini tak seperti apa yang dia bayangkan, ini benar-benar beda. Dan dia, semakin bingung dengan apa yang harus dia lakukan.

-----

Hem Ham Hem. Aku semakin bingung. Bingung mau melanjutkan draft mana dulu. Banyak sekali cerita yang menganggur dan dinanti untuk dilanjutkan.

Semoga semakin betah. Jangan berpaling, ya.

12 November 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang