Bagian 22

313 72 0
                                    

Derin masih saja betah di kediaman Feri. Kejadian kemarin memaksanya kembali datang menemui kakaknya. Derin bersandar pada sofa, memandang Feri yang masih berkutat dengan laptop miliknya.

"Gue pikir lo gak punya barang kayak gitu," celetuk Derin melirik Feri.

"Laptop maksud lo?" Sahut Feri mengernyit. "Ya, jelaslah gue punya. Masa gue gak punya barang elektronik sama sekali."

"Maksud gue, lo pake barang kayak gitu buat apaan?" Balas Derin malas.

"Buat kerja,"

Derin kembali menatap kakaknya tidak percaya, "Kerja apaan anjir?!"

"Ya, ini yang gak lo tahu," sahut Feri terkekeh, menutup laptopnya dan duduk di sebelah Derin. "Gue kerja sama ayah, lewat email sih, gak langsung ke kantor kayak orang-orang."

"Serius?!" Pekik Derin, kaget. "Ngeles aja lo."

Feri tertawa renyah, "Terserah, yang jelas gue ngomong jujur."

"Kok bisa?"

"Ayah kemarin ke sini, minta gue balik ke rumah, tapi gue gamau. Gue udah betah di sini, ya, untuk beberapa saat. Ayah kekeuh mau gue balik, padahal dulu dia buang gue gitu aja. Tapi sekarang malah mungut gue lagi, udah mirip sampah kan?" Ujar Feri terkekeh, "Ya, karena gue nolak buat balik, ayah nawarin gue kerja. Seenggaknya gue punya uang buat biaya hidup. Karena bagaimana pun gue nantinya, saat gue nikah, gue pasti butuhin dia."

"Kenapa lo gak balik aja," dengus Derin. "Biar gue ada temennya."

"Lo aja udah seminggu gak balik ke rumah, kan?"

Derin langsung menatap Feri, kaget. "Lo tau darimana?"

"Ya, mata gue mungkin emang dua. Tapi mata gue sebenernya ada dimana-mana."

"Nyeremin anjir!"

"Bukan nyeremin," celetuk Feri. "Justru itu ngebantu gue buat ngawasin lo. Biar lo gak berlaku bodoh di luar sana."

Derin mendengus, sebal. "Berarti lo ngirim penguntit buat gue?!"

"Iya," jawab Feri santai. "Gue juga tahu, kemarin lo abis nolongin temen lo di jalan. Sendirian, ngelawan segerombolan anak muda."

"Serius lo tau?" Pekik Derin, benar-benar tidak percaya. "Terus kenapa lo gak bantu?"

"Buat apa?" Ceplos Feri. "Sendirian aja lo bisa mengatasi bedebah itu, masa harus gue bantu?"

Lagi, Derin mendengus sebal, "Kasian gue sama Budi. Dikeroyok begitu,"

"Lo udah tau penyebabnya?"

Derin menggeleng lemah, "Belum, dia juga belum bisa kasih gue penjelasan. Ujung bibirnya sobek, susah buat ngomong. Ya, gue nunggu waktu aja."

"Tapi kayak aneh,"

"Aneh gimana?"

"Budi, temen lo itu, kenapa juga keluar kostan terus bisa dikeroyok? Bahkan gak ada teriakan apa pun. Seenggaknya kalo orang mau dikeroyok, teriak minta tolonglah, minimal."

"Mungkin gerombolan itu datengnya mendadak, jadi Budi gak siap buat ngelawan."

"Ya, gue harap sih gitu."

*****

Caca tertawa saat melihat tingkah konyol Anis. Pasalnya, gadis itu bertingkah seperti anak kecil. Bermain di taman dengan anak kecil sungguhan. Berlari-lari mengitari lingkaran bunga yang berada di tengah taman, bersorak riang dengan derai tawa yang menghiasai.

Sedikit menyesal karena Caca tidak bisa ikut bermain dengan Anis dan anak kecil lainnya. Dia harus tetap dalam keadaan segar, tak boleh kecapekan. Padahal, Caca merasa bosan jika hanya diperbolehkan duduk menonton permainan mereka. Rasanya langsung ingin menghampiri mereka dan ikut bermain.

"Lo ngapain?!" Pekik Anis kaget melihat kehadiran Caca di sebelahnya.

Caca membalasnya dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi putihnya, Anis berdecak lalu berdiri menghadap Caca.

"Ngapain?!" Decak Anis tolak pinggang.

"Ikut main," jawab Caca tersenyum, "Kenapa?"

"Nanti lo kecapekan,"

"Enggak," Caca menggeleng pelan, "Kalo kayak gini doang mah gak bakalan capek. Kecuali gue main kejar-kejaran."

"Terserah,"

Anis melengos pergi meninggalkan Caca dan menghampiri anak kecil yang sedang bermain ayunan. Caca berjalan mengikuti Anis dari belakang.

"Haiii," sapa Caca kepada anak kecil bernama Bunga itu.

"Halo kakak," bocah itu membalas sapaan caca dengan lambaian tangan kecilnya. Masih di atas ayunan yang bergerak naik turun.

"Mau naik ayunan juga?" Tanya Anis melirik Caca. Tangannya masih setia mendorong ayunan yang dinaiki oleh Bunga.

"Boleh," sahut Caca mengangguk. Lalu berjalan ke arah ayunan yang kosong, tepat berada di sebelah Bunga.

"Kak Anis," panggil Bunga pelan.

"Iya?"

"Kakak itu namanya siapa?" Bunga bertanya dengan telunjuknya mengarah Caca yang sedang asik bermain ayunan.

"Namanya kak Caca," ucap Anis memberi tahu. "Bunga mau main sama kak Caca?"

Bunga menggeleng pelan, "Enggak ah,"

"Loh, kenapa?" Anis mengernyit, bingung.

"Aku maunya sama kak Anis aja. Aku gak kenal sama dia. Nanti dia galak sama aku, gak kayak kak Anis yang selalu baik sama aku."

Sungguh, rasanya Anis ingin tertawa terbahak sekarang juga. Penilaian macam apa ini? Seorang bocah berusia enam tahun yang sudah bisa menilai kesan pertama berjumpa dengan orang lain. Respon yang begitu menyebalkan. Mungkin memang benar, anak kecil tak pernah berbohong.

"Kak Caca baik kok, sama kayak kak Anis."

"Beneran?" Bunga mendongak menatap wajah Anis dengan dahi yang mengerut.

"Beneran," jawab Anis tersenyum. "Coba Bunga ajak main kak Caca, pasti dia mau."

Bunga terlihat tampak memikirkan perkataan Anis. Ya, Anis menggelengkan kepalanya pelan. Bocah satu ini sungguh menggemaskan.

"Kak Anis," panggil Bunga. "Turunin Bunga dong, aku mau ajak main kak Caca."

Anis tersenyum lalu mengangguk. Menghentikan kegiatan mengayunnya dan membantu Bunga turun. Setelahnya Bunga langsung berlari kecil menghampiri Caca yang malah melamun di atas ayunan yang tidak bergerak.

"Kak Caca," panggil Bunga pelan, takut mengganggu.

Caca menoleh, "Iya?"

"Kak Caca main, yuk?! Kata kak Anis, kakak mau diajak main," ajak Bunga bersemangat.

Caca mengernyit, menatap Anis bingung. Anis membalas tatapan Caca dengan senyum menjengkelkan, gadis itu hanya menggendikan bahunya tanda tidak tahu apa-apa. Sedangkan Bunga masih saja mengajaknya bermain.

"Mau main apa?"

"Main petak umpet aja," saran Bunga. "Tapi kak Caca yang jaga, ya?"

Caca terkekeh lalu mengangguk, "Iya, ayo kita pindah ke sana yang ada pohonnya." Caca mengajak Bunga ke dekat pohon besar. Anis menguntitnya dari belakang. Caca yakin sekali kalau ini perbuatan Anis padanya.

-----

Sampai bertemu lagi. Jangan lupa tinggalkan jejak kawanku

Bekasi, 3 November 2018

Hubungan Tanpa Status [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang