Gelap.
Satria melangkah dengan perlahan. Bunyi suara sepatu yang sedari tadi melangkah mendekatinya menyurutkan ia untuk lebih jauh melangkah. Kali ini ia harus benar berdiskusi matang untuk merencanakan serangannya. Tiga puluh menit yang lalu, ia bersama tim nya menaiki helikopter untuk segera menuju lokasi penyanderaan yang terletak di daerah perbatasan. Satria mengeratkan pistol yang ia pegang sedari tadi sembari berjaga. Telinga lelaki itu juga sedari tadi mendengarkan laporan dari berbagai tim yang sudah menyebar.
"Hormat, Kapten. Ada tiga orang warga sipil yang sengaja disandera oleh perompak. Sepertinya mereka meminta kita untuk menyimpan senjata."suara itu terdengar ditelinga Satria yang tengah memakai earphone.
Satria menghela napas sejenak. Mungkin saat ini ia harus merelakan dirinya sendiri untuk maju kedepan. "Saya akan maju sendirian ke dalam sana. Saya akan meninggalkan pistol saya."
Terdengar suara yang juga ikut tersambung. "Saya akan menemani kau, Kapten Satria."ucap Aryo yang dengan yakin melalui earphone.
Satria meninggalkan pistolnya kepada anggota lain. Dirinya menyusuri malam yang gelap dan mencekam. Bisa saja ia terkena tembakan yang membuatnya harus gugur didalam penyelamatan ini. Menjadi tentara adalah cita-cita nya sejak dulu. Jika memang ia harus gugur saat ini juga, Satria tidak pernah menyalahkan siapapun.
Satria bersama dengan Aryo berjalan dengan tangan keatas. Tim lainnya berjaga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Satria berjalan perlahan menghindari jebakan yang dipasang tersembunyi dengan sengaja itu.
"Pimpinan tugas ini saya alihkan kepada Letnan Suryo. Jika saya gugur kali ini, kabarkan kepada orang tua saya dengan segera." Kata Satria dengan tegas.
Prajurit yang mendengarnya mendadak trenyuh. Selain dikenal dengan ketegasannya, Satria juga dikenal sebagai seseorang yang rela berkorban untuk orang lain. Satria tidak pernah memikirkan akhir dari kehidupan dirinya. Satria tidak pernah egois ketika dalam melaksanakan tugas. Ia rela maju duluan untuk membuat keadaan semakin membaik. Bahkan terkadang ia rela jika harus dijadikan sasaran.
"Kapten, kami selalu akan menjaga kamu dari sini. Jika mereka melakukan penyerangan terhadap mu. Kami siap menyerang kembali."suara itu terdengar. Satria menghela napas sejenak.
Satria menginstruksikan agar Aryo mengikut langkahnya dengan perlahan. Tekadnya sudah yakin. Selamat atau tidaknya ia saat ini setidaknya orang yang berada di dalam sana bisa menghirup kebebasan.
Satria mendobrak pintu tua yang sebelumnya terkunci. Hanya disinari dengan beberapa penerangan, ia berjalan bersama Aryo mengendap masuk. Belum juga ia menemukan seseorang tiba-tiba saja pintu tertutup secara sengaja. Sedetik kemudian lampu menyala dengan terang. Sekelompok penyandera tengah mengelilingi keduanya dengan pistol yang diarahkan kepada Satria dan Aryo. Satria mencari celah untuk mengatur strategi untuk melumpuhkan pistol yang berisikan peluru itu.
"Saya tidak membawa senjata. Sesuai dengan perjanjian, lepaskan sandera. Aku tidak bisa menembak kalian semua. Aku tidak bisa memanfaatkan keahlianku dalam menembak saat ini. Jika kalian memang seorang yang hebat. Tinggalkanlah senjata kalian dibawah."Seru Satria yang memecah keheningan malam.
Ketua kelompok penyandera itu tertawa singkat. "Tentara bodoh! Kalian pikir dengan mudah saja kalian akan kembali? Kami bisa saja mengembalikan sandera kami. Namun nyawa kalian lah yang kami lenyapkan."
Satria masih dalam mengangkat kedua tangannya. Mata nya kini penuh dengan tatapan tajam. "Saya ingatkan sekali lagi. Jika kalian hebat, lepaskanlah senjata kalian."
"Jangan menatap ketua dengan tatapan tajam seperti itu."sahut yang lainnya seakan memberi pembelaan kepada ketua penyandera itu dengan menembakkan peluru kearahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ok, CAPTAIN! [selesai]
Ficção AdolescenteSatria Pramuda, cowok berumur 22 tahun itu memiliki karir yang cemerlang di bidang kemiliteran. Diusianya yang masih terbilang muda, lelaki itu sudah menjabati sebagai seorang Kapten ketika bertugas. Kinan Amarani, cewek berumur 17 tahun itu memili...