31. Hidup itu Harus Memilih

27.1K 1.6K 4
                                    

Secangkir kopi hangat yang sedang dipegang oleh Kinan terasa dingin. Udara malam juga menambah suasana semakin dingin. Hati Kinan pun juga ikut menjadi dingin. Kinan menghela napas gugup. Rasanya begitu canggung jika harus bertemu dengan masa lalu yang begitu sulit terlupakan. Kinan melirik lelaki yang tanpa diundang itu. Bahkan disaat keduanya bertemu, rasanya adalah hal yang paling Kinan benci untuk sekarang.

"Jangan dengerin apa kata Tante Ayu. Dia memang belum mengerti kenapa kita berjauhan."ucap Kinan dengan dingin.

Raka menghela napas dalam. "Kamu seakan membenci aku. Padahal aku pikir ini pilihan yang terbaik."

Kinan masih dengan tatapan datarnya. Sejak lelaki itu menyakitinya, ia tidak bisa melupakan kejadian itu. Mata gadis itu beralih menatap tanah tempatnya berpijak.

"Kau sendiri yang membuat saya berubah menjadi benci."Kinan kini mulai berkata dingin. Tidak seperti dulu.

Raka terkekeh pelan. "Dalam sehari kamu menyalahartikan sesuatu. Dalam sehari kita nampak seperti orang asing. Sebegitukah kamu tidak menerima yang sudah terjadi?"

"Kenyatannya memang begitu. Kamu sudah seperti orang asing. Kamu yang membuat aku seperti orang asing."

"Aku nggak pernah buat kamu seperti orang asing, Kinan. Bahkan aku berharap kita bisa kenal baik seperti dulu."lirih Raka dengan pelan.

Kinan tersenyum kecil. "Kayaknya kata orang benar, kalo hubungan yang dekat jika salah satunya tersakiti, tidak akan bisa kembali seperti dulu."

"Kita masih bisa memperbaikinya. Karena aku sama sekali tidak menginginkan akhir seperti ini."

Kinan menyesap kopi yang ia genggam. Matanya masih menatap dingin kearah depan. "Seandainya aja Tante Ayu tau kenapa kita berpisah. Dia nggak akan memaksa kamu datang kemari untuk hal tidak penting."

"Dengan senang hati aku akan membantu kamu. Aku nggak pernah menolak jika itu dibutuhkan. Seperti yang diamanatkan oleh orang tua kamu dulu. Aku akan selalu ada untuk kamu."

Kinan tertawa singkat.  "Berhenti bersikap seakan kamu adalah milikku. Kamu sudah menghancurkan segala harapanku. Jadi, sebaiknya pergi lah menjauh. Jika kamu ada disini, rasa sakit itu semakin bertubi-tubi."

"Ada alasan lain kenapa aku meninggalkanmu. Jika ditanya apakah hati dan mulut ini merasakan hal yang sama, maka jawabannya adalah tidak. Hatiku masih ingin kembali namun kenyataannya aku menyakitimu dengan ucapanku sendiri."

Kinan gemetar. Ucapan Raka benar-benar membuatnya ingin mengulang segalanya. Raka tidak serius meninggalkannya. Raka masih mengharapkan dirinya. Namun jika semua itu benar, mengapa dulu Raka meninggalkan Kinan tanpa alasan. Dan yang lebih menyakitkan, berita Raka sudah menjadi milik orang lain.

"Berhenti untuk membela diri sendiri. Kau banyak melakukan kesalahan fatal."kata Kinan dengan dingin.

Raka menghela napas. Dinginnya suasana tidak membuat Lelaki itu menyerah menjelaskan segalanya. "Soal berita aku meninggalkan kamu karena aku bosan, kamu salah. Aku pergi karena aku pikir itu akan membantu. Ternyata sama sekali tidak membantu. Aku malah sudah menyakitimu."

"Berhenti membela dirimu sendiri."

Raka tersenyum. "Aku masih mencintaimu, Kinan. Entah kau percaya atau tidak sama sekali. Itu urusanmu dengan hatimu."

Kinan membeku. Seketika saja ia pergi. Membiarkan rasa sakitnya ia pendam sendiri. Ia benci seseorang masa lalunya kembali menyatakan cinta. Ia benci orang itu kembali tanpa merasa bersalah.

Raka menatap kepergian Kinan dengan nanar. "Andai kamu mengerti, Kinan."



***




Ok, CAPTAIN! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang