Satria terduduk sendiri memandangi bintang yang kali ini menampakkan dirinya. Sinar bintang itu terlihat tidak begitu bersinar namun menjadi penghias dikala langit hitam yang seakan merindukan sinar bulan. Satria memainkan kalung pemberian orang tuanya sebagai pengobat rasa rindu. Sejak lulus SMA, ia merantau ke Jakarta hanya untuk mengikuti tes penerimaan calon tentara. Dulu ketika ia masih kecil, ia melihat Pamannya yang bekerja sebagai tentara. Pamannya menjadi Letnan Kolonel ketika pada masanya itu.
Awalnya Satria mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang tentara. Dirinya lebih memilih untuk berkuliah saja. Sempat kedua orang tuanya melarang ia karena takut akan bernasib sama seperti Pamannya. Gugur di dalam medan peperangan.
Satria menyesap kopi yang telah ia buat sendiri. Dirasakannya rasa mocha yang bercampur dengan cream susu. Meminum kopi di malam hari membuat suasana hatinya menjadi kembali setelah berlelah melatih prajurit baru sore tadi.
"Kamu mikirin apa toh, Sat?"tanya Aryo yang kini duduk di sebelahnya.
Satria tertawa kecil. Kemudian ia menawarkan kopi kepada teman satu asrama nya itu. "Tidak mikirin apa-apa. Hanya ingin melamun."
"Soal tugas kita jadi relawan perdamaian di Palestina sudah kamu persiapkan? Empat bulan lagi kita akan bertugas disana bersama dengan tentara internasional lainnya."Ucapan Aryo berhasil membuat Satria terdiam. Satria tidak merasa keberatan dengan adanya kebijakan itu, namun hanya saja ia tidak ingin berpergian jauh dari tanah air yang ia cintai ini.
Satria mengangguk mengerti. "Masih lama, Aryo. Sekarang apa yang harus kita pikirkan untuk tetap menjaga keamanan Negara ini. Kasus-kasus militer masih banyak yang belum terselesaikan dengan baik. Terutama penyanderaan warga yang semakin hari semakin sering terjadi."
Aryo menepuk pundak rekannya itu dengan pelan. Sebenernya Aryo juga merasa bangga memiliki komandan yang begitu cerdik juga tegas seperti Satria. "Pantas saja Kolonel Jenderal memilih kamu untuk jadi pemimpin di setiap pelaksanaan tugas. Kau tidak hanya memikirkan jabatan atau kenaikan pangkat saja. Kau memikirkan orang lain yanh belum tentu kau kenal."
Satria menghela napas sejenak. "Entah mengapa sejak kecil aku ingin menjadi tentara yang hebat. Bukan karena aku ingin cepat kaya hanya saja aku senang jika menangkap target ataupun hanya sekedar menyalurkan hobi ku dalam menembak."
"Lalu setelah ini kau belum juga akan menikah?"
Sedetik kemudian tawa keluar begitu saja dari mulut Satria. Aryo kini benar-benar memperhatikan kehidupan nya. "Sepertinya belum ingin menikah."
"Kau mengejar gadis SMA yang kau temui itu, hmm?"
Satria kemudian menggeleng pelan. Dialihkan pembicaraan tentang perempuan itu menjadi topik lain. Meskipun berusia dua tahun diatasnya, Aryo selalu saja menanyakan percintaan dirinya. "Kau selalu saja ingin tau urusan orang lain."
Aryo tertawa dengan sengaja. "Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu. Biar seorang Kapten tidak menyesal karena sudah memilih wanita yang salah."
"InsyaAllah aku tidak akan salah pilih. Kau bagaimana dengan pacar mu itu? Dia masih setia menunggu kau kembali?"tanya Satria yang kini membuat Aryo menjadi membisu.
Aryo mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Dia marah kepadaku karena tidak memberinya kabar. Sudah ku katakan aku ini tentara dan jarang sekali memegang telepon, tetap saja ia tidak mau kalah."
Satria tertawa geli mendengarnya. Aryo memang sudah memiliki seorang kekasih yang seakan cemburuan. Jika telaah dengan kritis tidak ada yang cemburu dengan Aryo. Tentara yang tergabung dalam pasukan khusus ini kebanyakan adalah seorang laki-laki yang berumur diatas 20 tahun. Jadi atas dasar apa rasa cemburu itu hadir seakan tidak terjadi sesuatu yang menggentingkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ok, CAPTAIN! [selesai]
Fiksi RemajaSatria Pramuda, cowok berumur 22 tahun itu memiliki karir yang cemerlang di bidang kemiliteran. Diusianya yang masih terbilang muda, lelaki itu sudah menjabati sebagai seorang Kapten ketika bertugas. Kinan Amarani, cewek berumur 17 tahun itu memili...