Kedipan dengan bentuk suara berulang itu seakan berdentum dalam rangka menunggu hari di mana aku akan mati. Besi menyebalkan yang mutlak tertanam di pergelangan tanganku--semenjak aku melarikan diri dari kota sialan bernama Chicago.
Sejujurnya, tidak ada seorang pun yang mau menghitung berapa banyak kedipan dari alat yang mengeluarkan suara nyaring selama semalaman kecuali diriku. Tekanan yang mereka beri sangatlah nyata, berakibat buruk pada harapan-harapan kami--bahkan mereka yang telah mati beberapa hari lalu.
Menarik napas selama dua minggu terakhir sangat menyesakkan. Mereka akan datang membabi buta. Kapan pun. Menghabisi nyawa kami dengan seribu cara. Namun, untungnya semua itu belum terlihat. Mereka masih memburu ke segala tempat, menangkap para manusia pembangkang yang disebut sebagai Xaviers--termasuk diriku.
Mau tak mau--dalam waktu dekat--kami akan ditemukan. Entah itu dibunuh atau kembali ke tangan Chicago. Menariknya, aku yang seharusnya mati saat pertemuan mengerikan itu masih bernapas penuh harapan malam ini.
Semua itu tidak akan pernah terjadi jika aku tidak bertemu dengan Ed di Hexha. Rencana gilanya bisa menyelamatkan nyawa kami saat pertemuan mengerikan beberapa hari lalu. Peristiwa di mana seluruh penduduk dikumpulkan dalam satu waktu, kemudian setengah dari mereka dimusnahkan--sebagai bukti adanya perubahan dan peristiwa susulan yang tak kalah mengerikannya. Ed mengatakan bahwa mati di tangan Chicago adalah satu hal yang harus kuhindari. Kami harus berlari dan melakukan perlawanan.
***
Pertemuan Holy Groot.
Perasaanku semakin memburuk saat mendengar bahwa pria bernama Alec Bennedict terpanggil oleh pengeras suara di depan sana. Pria itu sempat berbalik mencium kening adikku. "Tidak masalah. Kita jalani saja dengan tenang. Aku mencintai kalian."
Adikku mengangguk perlahan. Ada rasa takut yang kulihat dalam raut wajahnya. Memang, suasana terasa ganjil. Kami berbaris dalam keadaan lemah. Ada kalanya di mana seluruh penduduk kota dikumpulkan di suatu tempat bernama Holy Groot. Lapangannya sangat besar, sampai-sampai seluruh penduduk tertampung.
Ratusan barisan panjang didirikan. Manusia menguasai lapangan utama Chicago dengan raut wajah kalut. Setiap detik, pengeras suara itu berbunyi. Manusia yang merasa dirinya terpanggil menggerakkan kakinya. Berjalan menuju gedung utama.
Sesaat, aku melihat muka Shasha yang memerah seiring berjalannya waktu. Ia menatapku dari belakang seolah menyuruhku untuk menenangkannya. Aku tahu betapa kesalnya gadis itu.itu. Berbicara satu sama lain memang membosankan. Namun, mereka--para penduduk dari blok yang berbeda--tetap melakukannya. Membicarakan apa tujuan dari pertemuan ini, bahkan sampai seluk-beluk kota Chicago. Semua itu hanya menambah rasa cemasku.
Aku melayangkan tatapan kepada Shasha. Ia tahu bahwa kami tidak boleh berbicara. Seperti beberapa waktu lalu, saat kami diserang sekumpulan penduduk Chicago dari Pusat Kota, hanya karena aksen british kami yang kental. Aku bisa melihat semburat garis merah di kening Shasha. Ia membuka mulutnya perlahan. "Alessa, apa yang akan mereka lakukan?" tanyanya parau.
"Aku tidak mengetahuinya." Aku berbalik menghadap Shasha, berbicara sepelan mungkin, mengusap rambutnya lembut. "Yakin dengan apa yang akan kita lakukan. Jangan mengkhawatirkan keadaanku nanti jika kita terpisah."
Gadis itu mengangguk berkali-kali. Sorot matanya meredup. "Aku hanya mengingat Mom, Alessa."
"Bagus. Pikirkan bagaimana perjuangannya," sahutku, memasang nada seyakin mungkin walaupun itu berat.
Kendati demikian, pria besar di depanku angkat bicara tiba-tiba. Seolah indra pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sama besar seperti rasa curiganya. "Mereka orang Inggris!"
Teriakan itu menyeruak ke dadaku, bahkan lebih keras lagi terhadap orang-orang di sekitarnya. Selalu ada yang menoleh. Aku tidak menyadari bahwa perkataan yang keluar dari mulutku terlalu keras. Mereka dari jarak terdekat memasang raut wajah menusuk. Membenci dua orang yang tidak mengetahui apa pun. Dan, siapa sebenarnya yang membuat keributan?
"British!" teriak salah satu pria, mendorong kumpulan manusia di sekitarnya.
Beberapa orang melakukan hal yang sama setelah beberapa detik menatap kami. Mencaci dan mendorongku dari segala arah. Sebagian dari itu terdiam menatap kami penuh rasa kasihan.
Peristiwa seperti ini terjadi lagi. Aku melindungi Shasha dengan memeluknya erat. Ada dorongan yang mereka buat, berubah menjadi keributan di salah satu area saat beberapa orang lainnya mencoba menolong kami.
Sampai-sampai, beberapa Tentara Chicago datang membawa senjatanya, sempat menuduh kami dan nyaris menyeretku jika aku tidak memberikan penjelasan. Dan, pengeras suara di gedung besar Holy Groot pun sempat dihentikan.
Peristiwa ini sudah kurasakan berkali-kali. Ada kesalahpahaman yang membuatku terkena imbasnya.
Saat dua Tentara Chicago mengerti atas apa penjelasanku dan mereka yang kusebut para pembela, enam orang yang berhasil menyerangku dibawa oleh mereka, memberikan tatapan jengah. Hanya menambah emosinya terhadap orang-orang sepertiku.
"Alessa, aku takut," kata Shasha pelan, bibirnya bergetar.
"Masih ada yang menolong kita," ucapku, berusaha menenangkan gadis berusia lima belas tahun itu di tengah tatapan-tatapan yang mengacu terhadap kami.
Ia memilih bungkam sesudahnya. Perasaannya benar-benar memburuk. Mata Shasha masih melihat beberapa orang yang digiring para tentara itu.
Sesaknya penduduk di lapangan raksasa mulai berkurang selama dua jam sesudahnya. Aku mulai berpikir bahwa aku akan mati dalam waktu dekat. Ditambah, Shasha Prime melangkahkan kakinya keluar barisan saat namanya terpanggil oleh pengeras suara di ujung--tentu saj ia akan meninggalkan lapangan, kemudian masuk ke gedung utama dan terpisah jarak denganku. Gadis itu sempat memasang senyuman getir sebelum dirinya melangkahkan kaki.
Pertemuan ini memang membawaku masuk ke dalam mimpi buruk. Namaku disebut satu jam setelahnya. Jauh sesudah Shasha terpanggil. Jika memang Chicago berbahaya, aku tidak mau memikirkan bahwa di tempat ini adalah hari terakhir kami bertemu.
Aku tidak pernah berpikir akan melakukan perjuangan senekat ini. Tidak akan pernah jika mereka tidak melakukannya.
***
REVISI.
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Science FictionPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...