Aku tidak tahu mengapa perkataan Ed belum bisa kuterima sepenuhnya. Namun, kali ini, aku melepaskan segalanya. Kami berada di Dome sekitar tiga puluh menit lalu, tetapi tampaknya Mr. O'Reilly belum mengeluarkan diri dari lorong penghubung dan mimbar masih kosong.
Aku dan Drew duduk di kursi teratas. Kumpulan kursi panjang yang bertingkat layaknya di bioskop, melingkari bangunan berbentuk kubah--dan, aku memisahkan diri dari Ed. Sementara Edgar dan Shaw duduk di tempat yang jauh dari posisi kami.
Yang tidak membuatku tenang adalah diamnya penduduk Shelter Dome. Satu-dua terdengar merapalkan doa, seakan-akan sudah memiliki firasat buruk akan hal ini. Ed, yang duduk di sisi mimbar di bawah sana--bersama Eleanor terlihat lebih dekat. Mereka berbincang dengan serius, seolah aku merasakan perubahan dalam dirinya. Mereka tampaknya saling terhubung dalam percakapan. Kerap kali, salah satu dari mereka menyanggah. Dan, itu membuatku berpikir bahwa mereka akan terus memegang kendali keputusan, bersama si pemimpin dan menjalankan rapat-rapat lain sebelum waktunya datang.
"Jangan melamun, heh!" Drew menyenggolku, tetapi tidak sebrengsek sebelumnya. Ia masih memiliki jarak untukku agar menjauhi percakapan-percakapan mengenai Darnell. Terlebih, saat kesadaranku hilang sehari sebelumnya.
Aku menoleh ke arah lelaki itu. Mengulas senyuman yang tidak irit seperti biasanya.
"Bagaimana keadaanmu? Kita ... baru bertemu sore ini, eh?" ucap Drew spontan begitu terhanyut menatapku. "Kau tidak melihat anak-anak muda berlatih di lapangan yang tiga kali lebih dingin daripada di Chicago?"
"Heh, jangan banyak bertanya!" tukasku risi, "tapi aku tidak melihatmu tadi. Hanya ada Ed dan Edgar, mungkin? Omong-omong, bagaimana sekujur tubuhmu, masih biru?"
Drew memutar bola mata, terlepas dari rasa simpatinya, ia mulai berubah kembali seperti semula--mungkin melihat keadaanku yang berusaha menjadi lebih baik. "Masih dipasang perban, sih," katanya, "kau merasakannya, tidak? Mereka di sekitaran berubah menyeramkan, seperti mengharapkan sesuatu yang lebih."
Arah pembicaraan kami meliuk. Dengan tiadanya anak-anak, suasana memang terlihat sakral. Penduduk tidak pernah berbicara jika ada sesuatu penting yang dilaksanakan di Dome.
Kendati demikian, bedanya, mereka merapalkan satu-dua patah kata yang menjurus ke arah Sang Pencipta. Sebenarnya apa yang mereka rasakan? Sebagian lagi menatap Ed dan Eleanor dengan sorot mata redup.
"Y-Ya, kurasa," sahutku, "bagaimana reaksi mereka, ya?"
Drew membenamkan tangannya ke bahuku, tidak lebih dari usapan yang mengisyaratkan agar diriku tetap tenang. "Tunggu saja, Alessa."
"K-Kautahu, apa yang mereka lakukan setelah kesadaranku hilang?" tanyaku, dan mulai merambat ke arah peristiwa itu.
Drew tampaknya langsung mengerti. "Rapat awal, tapi sepertinya kami akan menjalankan rapat-rapat lain selama tiga hari ke depan. Di waktu-waktu tertentu dan singkat." Drew menjelaskannya. "Namun, rapat awal kemarin agaknya lama. Aku tidak terlalu antusias menghadirinya--"
"Drew, rencananya, bagaimana?" Aku memotong pembicaraannya, kalau-kalau Drew sudah mengetahui apa rencana tersembunyi Ed yang tidak kuanggap benar maupun salah. Di sisi lain--jika rencana itu benar akan dilakukan--konflik mungkin akan pecah. Di sisi lain pun, jika tidak begitu, kami akan segera ditangkap jika tidak bergabung dengan Xaviers lain.
"Ya, kaumengerti, lah. Walau tidak terlalu logis. Aku tidak tahu rencananya berhasil atau tidak. Yang pasti Chicago kuat, ditambah empat kota besar lain yang menganut sistem serupa pasti tidak main-main." Drew terkekeh geli, seolah menganggapnya tidak serius. "Memang kita bisa mencapai tempat perkumpulan Xaviers? Menurut Ed, mereka berada di perbatasan antara Kanada dan Amerika, sedangkan, Shelter Dome memiliki dua pesawat yang jika dijumlahkan, keduanya hanya bisa menampung 80 orang. Dan, Zwave hasil curian kita hanya bisa digunakan 10 orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Science FictionPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...