Getaran di tubuhku kontan meradang dalam waktu singkat. Sekejap, sayup-sayup suara mulai dirasa keberadaannya. Mataku membuka kemudian. Rasanya berat begitu kau mulai menarik napas kembali; panas, sesak, sakit dan sadar dalam keadaan nyaris tidak-berakal. Yang pasti, diriku ini sedang bergetar hebat, sementara jangkauan memori dalam pikiranku menciut kali ini. Ingatan-ingatan sebelumnya masih bebas keluar-masuk dan aku masih belum bisa menangkap seluruhnya. Butuh waktu lama bagiku untuk benar-benar berpikir sehat, tentu saja.
Sekarang, di mana aku sebenarnya?
Tubuhku ini terombang-ambing dalam kecepatan tinggi. Hanya ada sedikit cahaya temaram yang memusat di hadapan sesosok manusia yang sedang menekan pedal gas sekuat tenaga. Tatapanku tidak kabur sepenuhnya. Kulihat dirinya memutar-mutar setir dengan cekatan. Dengan tampang layaknya seorang bapak-bapak pemabuk. Namun, rambut cepak itu membuatnya terlihat lebih rapi. "Selamat sore." Setelah tatapanku terpacu terhadapnya, sosok itu angkat bicara.
Refleks, otakku mengirim impuls terhadap saraf motorik ke sekitaran anggota tubuh. Walau, rasanya berat dan sakit, emosiku terlanjur memuncak begitu melihat wajah itu. Siapa yang memasukanku ke dalam mobil? Tenang, pikirku. Otakku belum bekerja sepenuhnya. Jadi, aku urung bergerak.
Tidak ada jawaban. Kuputuskan untuk menunduk demi mengecek keadaanku. Aku sedikit puas, barangkali ada jari atau tangan yang hilang, semua masih utuh. Aku memakai kaus putih lusuh. Anehnya, bercak-bercak darah itu menyebar di titik-titik tertentu. Sontak saja, terbesit potongan kejadian pada suatu waktu--lebih tepatnya, kilas balik--saat aku merasakan sebuah dengungan mendadak di kepalaku. Jelasnya, teriakan seseorang. Biarpun dua detik, rasanya lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. Ada proses aksi dan reaksi yang saling kami lempar. Otakku disetel untuk menyimpulkan bahwa keadaan sebelumnya sangat brutal; hidungku berdarah; adu tembak yang berlangsung; dan kejar-kejaran.
Benar. Di sini ... Denver.
Bulu kuduk di tubuhku berdiri. Begitu menusuk dan perlahan-lahan, kurasa aku mulai menggigil mengingat titipan itu--yang diberikan seseorang kepadaku pada suatu waktu. Bahwa jaket parka itu tidak sedang dalam jangkauanku. Aku terkejut bukan main. Kupaksakan untuk menggerakkan sebisa mungkin anggota tubuhku. Tatapan mata ini terpacu ke arah pria cepak di kursi kemudi. Tidak memakan waktu lama, setelah memutuskan untuk mengedarkan pandangan ke arah lain, ternyata sebuah jaket yang kumaksud tergantung di belakang kursi kemudi.
"Apa urusanmu?! Siapa kau, hah?!" gertakku kuat seraya mengepalkan tangan. Aku masih berusaha menyusun potongan-potongan adegan yang menari-nari dalam kepalaku. Bagaimana mungkin semua bisa terjadi? Dadaku bergemuruh, semakin cepat sampai-sampai aku menyadari bahwa ada suara lain yang sama; terdapat di pergelangan tanganku. Suaranya kerap kali beriringan dengan dentuman jantungku.
XAVIERS.
Satu kata itu, mendadak saja menguak semua kebenarannya. Pikiranku kembali sehat. Disusul timbulnya berbagai pertanyaan mengenai siapa pria cepak di sana, yang lagi-lagi nyaris membuatku merasa tidak waras. Ada rasa waswas dan ketakutan setiap kali aku menatap sosok itu. Kemudian, desahan napas di belakang kursi kemudi. Sangat, sangat berat dan penuh beban.
Ada orang lain di baliknya. Kurasa aku belum sepenuhnya baik. Rasa panik ini terus menggerogoti kesadaranku perlahan-lahan. Aku tidak mau kalap, persetan. Aku mau tidur nyenyak di rumah. Tapi, tunggu, aku tidak memiliki semua itu. "Siapa kau?!!" Kuulangi dengan lancang terhadap sosok itu.
"Informan." Jawabannya singkat. "Tenangkan pikiranmu, Prime. Aku orang baik-baik."
Degup dadaku seolah meradang dalam waktu singkat. Sungguh, mengapa ia tahu namaku? Aku terdiam dalam amarah memusat. Biarpun nyaris gila atau apa, kuusahakan tetap memacukan kesadaranku terhadap memori jangka pendek itu. Sampai akhirnya sebuah nama melekat dalam kehidupanku. Tidak asing sama sekali. Alessa Prime. Itu ... diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Science FictionPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...