7.2 Hero!

650 108 13
                                    

Selama detik-detik itu berjalan, dentuman jantungku mengeras. Mulut Alec masih bergetar dan, kurasa, kakinya kebas total karena efek alat di tengkuknya.

Terpaksa aku mengangkat lengan Alec dalam pangkuanku. Napasnya terpaut megap-megap, ia nyaris tidak dapat melangkah karena energinya terkuras habis. Edgar berada di depanku karena, gang memang kecil.

Ia berjalan cepat dan hampir melupakanku di belakangnya. Namun, kulihat langkah kaki lelaki itu tetap waspada sampai akhirnya melewati gang kumuh yang bau.

Di suatu atap bangunan yang tak terlalu tinggi, ada yang membuntuti kami dari atas. Suara nyaring itu tetap terdengar. Temponya sama seperti yang tertanam di pergelangan tanganku. Jika diperhatikan lebih dalam, ada sekitar dua suara yang beriringan. Seakan mendapati mangsa terbaiknya dalam kesempatan termudah pula.

Dalam jarak beberapa detik saat kami keluar dari gang dan memelesat lari, satu desingan pekat mengacaukan perasaanku. Kontan, bulu kuduk yang ada di tubuhku menegang, debgan refleks cepat, otot-ototku mengeras. Tancapan meleset itu bersarang di dinding bangunan. Dengan satu-dua tarikan napas panjang, aku menyeret Alec lebih kuat dan berlari secepat yang kubisa, sementara Edgar berbalik waspada.
"Lari!" ujarnya keras.

Sontak saja, beberapa penduduk mulai keheranan dengan tingkah kami, tetapi mulai menghambur ke segala arah setelah dua sosok turun dari atap bangunan; memegang alat pemusnah. Saking cepatnya, aku baru bisa menyadari mereka setelah beberapa detik terpaku memandangnya.

Baiklah, aku bisa saja mati. Di tengah hiruk-pikuk ketakutan, kami menyelusup di antara para manusia, merunduk seraya berlari tergopoh-gopoh. Hanya Edgar yang menjadi titik acuanku untuk mengikutinya di setiap belokan. Adrenalinku terpacu. Kurasakan getaran dalam tubuhku; rasa takut akan kehilangan seseorang. Aku setengah pasrah akan keadaan seperti ini.

Wajahku memanas dan Alec mulai kalap di tengah kecepatan berlari kami yang terbilang minim. Deretan kertas berisikan foto-foto Xaviers di setiap sudut jalanan tidak mempan untuk mengalihkan fokusku--kami sudah terlanjur dicari. Rasanya sulit begitu kau merasa tidak ada jalan lain selain menyerahkan diri.

"Alec, tahan sebentar lagi. Fokuskan pandanganmu, kumohon!" Aku menguatkan cengkeraman di bahunya. Di tengah sorot mata redupnya, kini perlahan mulai hidup. Air mataku mengalir sesaat setelah menatapnya penuh harap.

Saat mendengar respons anggukan dari Alec--walau susah payah--semangatku membara. Tak peduli sekumpulan derap langkah kaki yang mengikuti di belakang. Mereka meluncurkan satu peluru lagi. Begitu pekat dan bisa membuatku terjatuh saat itu juga lalu mati.

Beruntungnya, tidak tepat mengarah terhadapku. Keringat membasahi setiap jengkal tubuhku.

Entah ke mana tujuan kami. Edgar berputar-putar dan mengambil jalan asal setiap menemukan perempatan. Kecepatanku sama sekali tidak kompleks, berbanding jauh dengan Edgar. Rongga dadaku menyesak kemudian. Apalagi yang harus kami tunggu?

Dalam waktu dekat seperti ini, mau tak mau kami akan ditangkap secepat mungkin. Seluruh pandangan terpacu ke arah kami. Edgar dengan usahanya berusaha berbalik. Pistol bekas yang ia ambil dari si pria berkupluk--pria yang menembak kepala Elvish--ia tembakkan dari arah lima meter dekatnya.

Kecepatan kami kalah telak. Di tengah jalanan besar, kini hanya menjadi atmosfer kesenyapan begitu pelurunya meluncur ke arah salah satu pemburu Xaviers. Perasaanku membuncah, meninggalkan getaran hebat di kepala. Terlebih, dari sisi jalanan, kami ditonton banyak penduduk dengan sirat ketakutan yang kentara.

Langkah Edgar mundur perlahan. Ia tidak ciut ... lelaki itu hanya merasa syok setelah melakukannya. Peluru itu baru saja menancap di pundak si pria bermasker. Gelang besi di tangannya tetap berkedip-kedip mengerikan.

Xaviers (Tamat - Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang