Rasa pegal di lehernya agak membaik seiring perjalanan pulang seperti apa yang mereka sebut. Hampir satu jam, gadis itu hanya merasakan semilir angin yang masuk dari jendela mobil, menerpa sedikit mukanya.
Dia akan pulang. Bukan ke tempat yang sesungguhnya. Antara sadar atau tidak, gadis itu tidak lagi memikirkan keadaan dirinya. Ia pikir, ia sekarat. Namun, ia masih bisa merasakan emosinya yang membludak. Belasan orang dari kursi di hadapan gadis itu bernapas megap-megap. Dari celah kecil jendela terbuka, sedikit cahaya menyelinap masuk, menyorot sosok-sosok manusia dalam keadaan yang sama sekaratnya. Dilanda rasa sakit di sekujur tubuh selama beberapa jam atau satu hari lalu.
Mengapa, ia selamat. Kekuatan dan emosinya nyaris membunuh seorang wanita lemah di salah satu arena yang berada di sebuah ruangan bertingkat. Selama peristiwa itu, tubuh dan perasaannya dipermainkan oleh sebuah cairan. Saling terhubung. Di pikirannya--atau yang ia sebut halusinasi--seorang ibu menyuruh anak itu membunuh seseorang demi membuat ibunya bahagia.
Itu semua memengaruhi perasaan Shasha Prime sesudahnya. Ia amat sangat merasa bersalah.
"Aku ... ingin apel." Setelah sekian lama berada di dalam mobil yang melaju, seseorang meracau terbata-bata.
Shasha Prime mendengar suara itu dari balik kegelapan. Tidak ada sedikit pun cahaya yang menyorotnya. "Di mana aku?"
Semua orang memilih bungkam. Berbeda dengan kakaknya, Shasha tidak memedulikan hal itu. Ia pikir, suara yang keluar dari mulutnya adalah pikiran pertama yang muncul saat si pembicara bangun dari tidur.
"Aku membunuh manusia," racaunya lagi, "apa ini kegiatan rutin di Chicago?"
Terbesit Darnell dan Ed. Pertemuan terakhir mereka saat berada di rumah sehari yang lalu. Ia bisa membayangkan, melihat raut wajah Darnell di kamarnya. Hari itu terasa ramai dan tenang. Pembicaraan-pembicaraan mereka di rumah agaknya berhubungan dengan peristiwa ini. Mengenai rencana dan spekulasi buruk mengenai pertemuan di Holy Groot. Ada sesuatu yang gadis itu takutkan.
Ia ditinggalkan.
Mobil pengangkut manusia terus melaju dalam kecepatannya. Sekali-kali para manusia di dalamnya terguncang, membuat lambung Shasha bergolak. Gadis itu hanya menunggu hari. Blok 7 bukan rumah sesungguhnya. Dia membutuhkan perlindungan nyata. Namun, sepertinya itu mustahil setelah menyaksikan kengerian dan kematian di hadapannya kemarin.
Entah itu diincar oleh para tentara lagi atau menjalani hidup baru setelah peristiwa aneh kemarin, ia tidak mengharapkan hidup selamanya di sebuah tempat bernama Chicago.
***
Sudah sehari lamanya gadis itu menunggu di depan jendela. Ini bukan rumah sesungguhnya. Ia sempat diurus oleh medis setelah pertarungan dua hari lalu. Saat diturunkan di gerbang Blok 7, Shasha belum benar-benar pulih.
Dengan keadaan seperti itu, ia bisa merasakan bagaimana dirinya melangkah melewati anak tangga kayu. Shasha mengambil kunci rumah di tempat biasanya. Harapan yang ia buat sama sekali tidak terwujud saat tangannya mendorong pintu. Tidak ada Alessa Prime atau Alec Bennedict yang sedang merokok di dalam. Harapan akan kedatangan kakaknya masih ada walaupun kamar tidur kosong dan sepi. Ia berbaring sesaat di ranjang reyot, perasaannya tidak terkendali.
Hingga saat ini, dari jendela ia mengintai. Betapa sepinya Chicago. Bahkan, tidak ada lagi harum-harum khas masakan Bennet tetangganya.
Napas yang kutarik terasa menyakitkan.
Alessa, jika kau mati, aku akan berjuang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Ficção CientíficaPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...