8.1 Fire And Rain

704 99 11
                                    

Jangan kaget, dan jangan benci.

Tapi jujur, berat rasanya ngetik bagian ini. :(

Tetap rileks ya, bacanya. Nikmati aja.

Selamat membaca, dan tinggalkan dukungannya dengan cara apa pun.

Note: play lagunya, ya~

Shelter - Birdy

***

Sepenuhnya hubungan antara aku dan Ed terputus. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya lagi setelah pembicaraan kalut yang kami angkat beberapa menit lalu. Gregory mengambil kembali diska lepas yang sempat tertanam di portal penghubung, hendak menyusulku berjalan untuk mengeluarkan diri dari kokpit. Topik yang sama-sama kami angkat tadi memang menguras emosi. Bagaimana mungkin aku melupakan keadaan Shasha. Jawabannya adalah tidak sekalipun, bahkan setiap menitnya, kecemasan akan kehilangan terus meningkat dalam perasaanku.

Aku ingat benar bagaimana perkataan Alec saat dirinya mengganas di ruang kesehatan Shelter Dome. Ada Shasha Prime yang diikutsertakan dalam kalimatnya, dan itu adalah sebuah ancaman jika aku tetap membangkang. Satu-satunya cara terbaik adalah menunggu di area sekitaran Zwave sampai matahari terbit, berharap komplotan Drew dan Shaw kembali tanpa kendala, kemudian disusul Ed yang sudah bertekad untuk mengatasi segalanya sebelum terlambat.

Atmosfer kengerian kembali merebak saat aku mengeluarkan diri dari kokpit. Di antara kursi-kursi Zwave, Alec terduduk dengan keadaan buruk. Sangat buruk, sampai aku tidak dapat melihat keberadaannya. Dia berteriak menahan sakit, disertai warna merah wajahnya di antara urat-urat yang menjalari tubuhnya. Kulihat Edgar sudah menjauh sembari menyaksikan momen tidak menyenangkan. Ia di posisinya--terpaku dengan tatapan ngeri di ambang pintu palka. Sementara satu tangan pemuda itu memagut pistol erat-erat; antara ingin mengeluarkan diri dari kenyataan dan berbagai ancaman bahaya, atau bertahan di sini dengan segala kecemasan memuncak. Satu kebenaran bahwa Edgar tidak bisa memilih untuk melakukan hal yang pasti. Sebesar apa pun rasa takutnya, ia tidak pernah berani untuk memisahkan diri dari kelompok. Dan, walau begitu, ada secercah kekesalan yang masih mengendap dalam benakku.

Kami saling bertatapan sesaat, dan aku yakin tatapanku lebih menusuk daripada biasanya. Mungkin ia juga menyadari satu hal bahwa keadaanku tidak lebih baik dari sebelumnya; tentu saja mataku berkaca-kaca setelah menghadapi serangkaian percakapan di kokpit. Saat ia sadar bahwa aku menatapnya terlalu lama, ia membuang muka. Sesegera mungkin aku menghampiri Alec--kali ini lebih tenang karena aku sudah merasakan hal serupa sebelumnya--dan kurasa aku harus menyikapinya dengan baik. Flynn menatapku dalam diam setelah sempat fokus terhadap Alec yang tampak seperti kesusahan bernapas. Sorot matanya mengatakan bahwa aku harus menghampiri dalam rangka mengatasi sebuah masalah serius.

Aku masih meratapi Alec dalam setiap reaksinya. Kemungkinan pertama adalah aksi Alec yang mengeluarkan kalimat penuh ancaman. Itu ulah Chicago yang menjadikan Alec sebagai perantara. Buktinya, siapa lagi jika bukan Chicago? Apalagi jika bukan alat yang berkedut-kedut di tengkuknya, menyiksanya secara berkala dengan brutal? Aku cukup muak, tetapi dalam kadar lebih kecil, karena perasaanku didominasi oleh kecemasan dan ketakutan terhadap melemahnya Alec. Seakan-akan, alat di tengkuknya sedang memberikan sekumpulan doktrin sialan atau halusinasi yang kemudian akan memengaruhi jalan pikirnya.

Gregory yang semula berada di belakangku kali ini berdiri di samping Alec, berusaha memeriksa dan menenangkannya. Flynn dan aku berlutut di bawahnya, menggenggam dan mengusap lengan Alec. Jangan tanya mengenai Edgar, karena--mungkin saja--dia sedang berjaga di ambang pintu kalau-kalau sesuatu tidak diinginkan mengganggu kami. Aku kembali menoleh ke arah mata Alec dalam perasaan teraduk-aduk. Netranya mengerjap setiap detik, dan itu sama sekali tidak bisa dikatakan normal.

Xaviers (Tamat - Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang