Pembarisan dihadiri seluruh penduduk Shelter Dome. Awan lebih pekat dan kelabu. Mr. O'Reilly terlihat rapuh. Kedua tangannya mengepal seraya berkata, "Jika suatu saat diriku mengizinkannya, aku akan kembali."
Mereka menunduk haru. Berbagai emosi bercampur di sebuah tempat penuh kenangan bagi penduduknya. Setiap netra mengeluarkan air mata, sedikit dari mereka terpejam, merapalkan doa dengan sungguh-sungguh.
Di antara mereka pula, ada yang ditinggal. Sisa-sisanya mungkin hidup menderita. Tidak ada pemimpin lagi. Proses pemilihan penumpang yang akan pergi ke perbatasan dilangsungkan sore kemarin, dan itu semua sudah disepakati.
Beberapa anak muda merelakan nasibnya. Ada yang mau menjaga keberadaan Shelter Dome, ada yang ingin menjaga bayinya agar tetap hidup, atau, menghabiskan sisa tua--menikmati alam dan segala isinya--serta menunggu keberadaan mereka direnggut oleh-Nya.
Atmosfer kesedihan menceluskan hatiku sebelum pergi ke landasan pesawat. Mereka saling menukar pandang; memeluk satu sama lain; dan memberikan sesuatu yang dianggap memiliki arti. Entah itu ukiran kayu atau catatan singkat. Yang pasti, aku mulai memisahkan diri di antara barisan dan mulai pergi saat Mr. O'Reilly mengucapkan tanda perpisahan secara resmi.
Cuaca pagi masih melekat dan awan tidak secerah biasanya. Pori-poriku membuka lebih lebar, angin merebak ke sana kemari. Dan, aku ditarik Haley agar pergi ke landasan secepat mungkin. Sejujurnya, keadaan Alec masih penuh tanya dalam benakku. Ia sudah berada di Zwave bersama satu penumpang lain yang dianggap dokter, serta Shaw dan satu pilot lain.
Mereka yang tertinggal di Shelter Dome mengikuti kami ke tempat terakhir. Kami yang akan ke Denver menaiki Zwave, dijadwalkan berangkat lebih awal demi mengalihkan perhatian Chicago. Debar jantungku tidak melambat sedikit pun. Bahkan, jalanan terjal ke arah landasan hampir tidak kurasakan. Hanya Haley yang terus mengingatkanku.
Suasana tidak begitu mendukung. Titik-titik es menyentuh tubuhku kemudian. Tidak ada cahaya matahari sejauh mata memandang, hanya kabut tebal yang kentara di bawah sana.
"Aku ... akan pergi," ucapku gemetar, sambil memeluk tubuhku yang menggunakan jaket parka cokelat.
"Kukatakan, siapkan segalanya. Buka pikiranmu. Tunjukkan aura kehidupan, setidaknya, terhadapku." Haley membawaku berjalan lebih cepat. Suhu makin mendingin saat kami sampai di permukaan teratas, disapa dengan terpaan angin yang mengembuskan titik-titik es yang mencair saat menyentuh tubuhku.
Haley melangkah lagi mencapai pintu palka Zwave. Namun--sebelum kami memasukinya--Mr. O'Reilly menghampiriku dengan sungguh-sungguh. Embusan napasnya mengeluarkan embun saat ia berkata-kata.
Tangannya meremas erat tanganku, berbarengan dengab diselipkannya secarik kertas saat tangannya meremas tanganku. "Terima ini dan jangan pernah hilang," katanya. Perasaan Mr. O'Reilly mulai kulihat. Ia tidak main-main. "Maafkan segala kesalahanku. Dan, ketiklah nomor itu pada layar kecil di kokpit. Selalu kabari kami di Denver. Terima kasih."
Walau ia tak seperti biasanya, aku hanya bisa terpaku dan memberi respons dengan anggukan singkat. Tatapan mataku terfokus ke wajahnya yang kalut, sampai akhirnya Mr. O'Reilly berbalik dan berjalan menjauhi keberadaanku.
"Sudah siap?" Haley berteriak dari pintu palka. Aku mengangguk lagi, menghampiri Haley seraya memasukkan kertas itu ke saku jaket parka milikku.
***
210902-180315
Selalu hubungi kami, pada waktu yang tepat.
Pengorbanan kalian sangat besar.
-Ed-
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Ciencia FicciónPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...