4.4 A Lost Smile

1.2K 178 53
                                    

Di tempatku, di tempatku.

Tak ada yang bisa kuubah.

Gadis itu terus mengulangnya selama setengah jam. Bibirnya bergetar hebat. Segalanya membuat gadis itu nyaris gila. Remasan tangan di pahanya tidak bermanfaat sama sekali.

Ia hanya ingin bebas. Ia hanya ingin bernapas dengan tenang. Akan tetapi sesuatu menghambatnya, seperti kekejaman dan peristiwa mengerikan yang selalu gadis itu hadapi. Tanpa henti.

Namaku ... Alessa Prime.

Ada sesuatu yang mengena terhadap perasaannya. Sebuah nama yang mereka berikan. Berseru sambil tersenyum di saat hari mulai gelap. Hari ini--bahkan beberapa tahun lalu--semuanya sirna. Hatinya tertekan saat menerima kenyataan pahit yang tak berujung.

Akan tetapi, di atas segalanya, pikiran Alessa terpusat kepada Drew. Lelaki itu terkulai lemah. Urat menjalar di lehernya seperti fakta yang ia saksikan pada saat itu. Ia bisa membayangkan di mana dirinya menjerit, menggelegar dan bergaung di antara tebing-tebing tinggi.

Salah satu hal yang ia takutkan. Kehilangan sesuatu berharga--seperti sebuah senyuman yang perlahan mulai pudar--dan sekarang itu benar-benar hilang.

Namaku Alessa Prime.

Alessa bernapas lebih cepat. Matanya masih berair sejak tadi di tengah kegelapan. Ruangannya sangat pengap, bahkan ia tidak bisa melihat cahaya sedikit pun. Dia benar-benar marah. Para bedebah itu memisahkan mereka secara paksa, yang membuatnya memikirkan keadaan Drew, satu-satunya harapan agar bisa menemukan teman-teman lainnya.

"Buka pintunya, Bedebah!" Gadis itu berteriak. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Namun, tetap saja. Ruangan terlalu gelap.

Alessa tidak bisa berdiri. Kedua tangannya masih mencengkeram paha. Kakinya ia tekukkan, tetapi rasanya mati rasa. Bagian terberat adalah saat dirinya harus berjalan sendirian. Tidak memiliki motivasi. Dan berinteraksi dengan kumpulan pembunuh di pegunungan.

"Buka--pintunya!" ucapnya sekali lagi, putus asa. Mungkin kewarasannya agak terganggu. Namun, ia benar-benar mengharapkan sesuatu yang lebih.

Alessa tidak lagi memikirkan keadaan dirinya. Gadis itu berada dalam keadaan yang sangat kritis. Kepalanya berdenyut, bersama lambungnya yang bergolak menahan rasa lapar. Namun, semua itu hanya sebagian dari rasa cemasnya. Ia hanya ketakutan, sampai-sampai segala pikiran buruk menggerogoti otaknya. Membuat hatinya tercabik-cabik.

"Drew. Drew!" ucapnya lirih--antara sadar atau tidak--Alessa menangis lagi. Satu tangannya ia pusatkan kepada permukaan, mengayunkannya dengan kecepatan tinggi. Penuh amarah. "Biarkan aku keluar!"

Tubuhnya kian menggigil. Ia tidak bisa menerimanya begitu saja. Kali ini, Alessa hanya bisa berharap; seperti sesuatu yang datang untuk menolongnya. Tersenyum dan merentangkan tangan dengan penuh keyakinan. Namun, saat-saat di mana ia menguatkan indra pendengarannya, sesuatu itu datang.

Mendekat dan mendekat. Menghadapi sebuah tantangan dan hal yang akan mereka lakukan. Alessa sudah menyadarinya sejak tadi. Hanya saja sekarang kepalanya terlalu pusing untuk memikirkan hal-hal seperti itu.

Gadis itu menyiapkan diri. Mengepalkan tangannya, karena ia tak tahu, apalagi sesuatu yang tepat untuk dilakukan.

Semakin lama, derap langkah kaki di luar semakin jelas. Ia mendengar bagaimana gembok dan rantai-rantai itu bersuara. Pupilnya mengecil saat cahaya masuk lewat celah kecil. Hatinya menjerit. Dan, jika ia bisa, ia akan mematahkan leher para bedebah itu.

"Jangan macam-macam," katanya. Kalimat itu dibuat sekencang mungkin agar terdengar oleh mereka.

Tentu saja. Mereka pasti mendengarnya. Merespon dengan mengayunkan pintu yang ditutup rapat dibarengi kumpulan cahaya yang menyelinap dari baliknya. Tatapan mata Alessa terpaku ke arah dua pria yang tak terlihat karena bayang-bayang.

Xaviers (Tamat - Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang