Sosoknya melenyap dalam kurun waktu cepat. Jeritan pria itu seketika terhenti. Kini, hanya rasa panik yang terus-menerus menghantuiku--memperburuk keadaan, dan memiliki potensi untuk mengancam nyawa--sedangkan di belakang sana, obor-obor dan senter bersilangan, kian benderang dan siap menyergap kami dengan segala cara.
Dalam cengkeraman tangan Gregory, aku berlari menyusuri hilangnya pria itu, sementara Edgar bersikeras mengatasi seonggok manusia di belakang dengan kekuatan terbaiknya. Napasku sudah terengah alih-alih kelelahan. Mungkin aku sudah berhenti jika bukan karena Alec. Rasanya mengerikan setiap kali menyaksikan apa-apa yang bisa mengakibatkan segalanya fatal, mengakibatkan terancamnya nyawa seseorang. Samar-samar aku mendengar ringisan dari arah kegelapan, kemudian suara kobaran api dari suatu area yang mendadak menceluskan jantungku. Sungguh, aksi itu berlangsung terlalu cepat dan menerangi jalanan Denver yang besar dalam sekejap. Api itu menari-nari dengan ganas, seakan baru saja menemukan mangsanya untuk dilalap sampai melepuh dan berubah menjadi abu. Sontak saja bayangan tubuh kami tersorot oleh asal cahaya oranye di sana. Masih berusaha mencari keberadaan Alec, mataku membelalak saat melihatnya tengkurap di tengah jalanan--bukan karena kehabisan tenaga, bukan karena dirinya pingsan. Bukan semua itu, melainkan karena seseorang sedang menginjak punggungnya dengan kuat--sedangkan satu tangan pria-obor itu (seperti apa yang kukatakan) memagut obor super besar dengan kuat ke udara.
Dapat kurasakan udara hangat yang merebak ke sekitaran wajahku, menggantikan dinginnya Denver pada malam hari. Aku baru saja mengira bahwa Alec akan menjadi sasarannya. Aku menggigil.
"ALEC!!" Aku berteriak, mengundang respons sinis dari arah berdirinya si-pria-obor. Dalam pandangannya ke arahku, pria itu cepat-cepat menggeram. Masih dalam posisi berlari tanpa mengerem, Gregory langsung melancarkan tembakan, alih-alih risikonya besar karena, jika sewaktu-waktu peluru itu tepat pada sasarannya, pria yang hendak membakar Alec akan tumbang, dan mereka akan terbakar bersamaan.
"Berhenti!" Aku menepis lengan Gregory, berteriak sekencang-kencangnya, sambil membelalak menatap Alec yang tengkurap di bawah kobaran api. Dia meronta-ronta, sebelum akhirnya, aksi Gregory tak dapat kucegah; beberapa lontaran peluru mengenai tubuh, leher, serta pinggang si pria-obor, dan dia runtuh ke aspal. Cengekeraman tangannya terlalu kuat, sampai aku yakin bahwa dirinya mulai kehilangan sadar dan tidak bisa mengendalikan diri, barulah kobaran api dalam genggamannya ikut terjatuh--tidak dalam jangkauannya lagi.
Air mataku bertebaran, ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaanku saat itu. Aku berlari, masih menyaksikan potongan-potongan kejadian yang mengerikan, sebelum aku bisa mengerti mengapa semua ini bisa terjadi. Aku pun berteriak, "Alec, berguling, Alec! Alec!!"
Alec terlihat masih mendengar aba-abaku. Sekuat tenaga, ia gerakkan anggota tubuh begitu pijakan kaki si pria-obor lepas seutuhnya dari punggung pria itu. Dadaku bergetar, mengharapkan apa pun yang lebih, apa pun yang bisa menyelamatkan Alec dari maut, tak peduli sekumpulan senter bersilangan di belakang kami, tak peduli biarpun celaan kebencian para gelandangan itu masih saja bertebaran, asal Alec tidak mati. Atau, jika dia mati, aku harap kami semua akan mati.
Itu kata-kata paling kasar yang pernah melewati kepalaku, karena kesadaranku berada di ambang kewarasan. Aku lelah, walaupun dua hari di Denver, tapi rasanya bagai seabad, dan kami nyaris meregang nyawa beberapa kali.
Akhirnya, aku baru tersadar bahwa Alec membalikkan tubuh dan berguling beberapa meter dari posisi asal dengan kekuatan terbaiknya. Saat pria-obor itu terkulai dalam kesengsaraan, api melalap tubuhnya dengan cepat. Kobarannya menari-nari lebih kuat--membesar, meninggi, seakan nyaris mencapai langit dalam pandanganku. Itu menyebabkan rasa ngeri ini semakin menyebar dan mengalir ke pembuluh darah di kepalaku. Senjata makan tuan, dan itu bagus. Aku tidak pernah sekejam ini, tapi asal kautahu bahwa mereka lebih kejam dan beberapa detik lagi, aku bisa saja mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Science FictionPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...