2.0 Accident

1.8K 259 61
                                    

Mergan menatap kami berdua. Aku tak peduli dengan jaket bodoh ini. Wanita itu memang baik.

***

Tanpa perlengkapan, aku harus bisa melewatinya. Kebencianku berpusat kepada Jenderal Doug--walaupun sebenarnya aku tak yakin, pria itu hanyalah seorang tentara.

Alec sedikit berlari sambil mengendap-endap. Ia memilih melewati gang-gang kota yang kumuh. Aku tak pernah menolaknya. Jalanan Chicago sangatlah sepi.

Saat akhirnya Alec menemui sebuah gang kecil di antara bangunan-bangunan, aku mengikutinya. Ini bukan pilihan buruk, mengingat hal yang tak diduga saat kami bersembunyi di belakang lemari tadi.

"Tetap tenang. Jangan panik, oke? Shasha akan baik-baik saja." Alec berbicara saat mulai memasuki gang ini.

Aku tak menjawabnya. Ingin rasanya meninju mukanya bertubi-tubi. Bagaimana mungkin aku bersikap tenang saat peluru-peluru berhamburan secara bebas tanpa memikirkan adikku sendiri.

"Jangan marah padaku," ucap Alec lagi. "Awas kakimu tertusuk beling."

Aku bingung, bagaimana kami bisa sampai ke blok kota di keadaan seperti ini. Seharusnya aku memikirkannya sejak tadi. Sekarang aku menjalaninya tanpa rencana.

Seluruh amarahku terganjal di pangkal tenggorokan. Rasa sakit yang terus menerus kurasakan terulang kembali hari ini. Hatiku berusaha berlari, namun sikap Alec sangatlah membuatku jengkel.

Sudah empat kali aku melewati tong sampah bau ini, namun saat Alec melihat sesuatu di ujung gang, ia berbalik. Jantungku berdetak kencang.

Alec lebih dulu membalikkan arah--melewatiku--dan bersembunyi di balik tong sampah. Aku mengikutinya, dan menunduk di sisinya.

Pria itu terus menatapku, alisnya terangkat perlahan. "Kita bisa mati. Satu-satunya jalan adalah kembali ke rumah Mergan."

Mendengarnya, hatiku terasa tercabik-cabik. Emosiku berada di puncaknya. "Kau GILA!" pekikku, berusaha mengeluarkan suara sepelan mungkin.

Ia menyilangkan tangannya di depan muka yang kian muram setiap detiknya. Tak terima dengan perlakuanku.

"Aku mengerti," katanya lalu mencengkeram kedua bahuku.

Air mataku mengalir. Sikap seperti ini tak selamanya menguntungkan. Pikiranku benar-benar kacau. Yang akan terjadi adalah pembunuhan--jika para tentara itu menemukan kami.

"Aku tahu apa tujuanmu. Sebagian dari mereka sedang menuju blok kota.Chicago sangatlah besar, Nak. Bahkan kita masih berada di sisi pusat kota--pinggiran blok." Alec masih berusaha menenangkanku dengan omongannya.

Aku mengusap air mata, lalu mengangguk. "Kita pulang."

Alec mulai mengintip di posisinya yang sedang jongkok. Sesaat kemudian dia berdiri perlahan sambil meraih tanganku.

"Ikuti apa yang kukatakan. Untuk hari ini saja."

"Iya," sahutku parau.

Perkiraan Alec aman untuk sekarang. Aku dengannya bisa berjalan dengan sedikit lebih cepat. Sedikit lebih buruk, banyak belatung yang sudah kuinjak. Apa yang terjadi di luar sana, sementara Chicago--yang dianggap aman oleh orang-orang--menurutku sangat kacau dan tak terurus. Begitu halnya dengan kota lain yang lebih parah dari ini.

Xaviers (Tamat - Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang