"Sudah seminggu sejak aku melarikan diri dari kota," ucapku di hadapan Mr. O'Reilly. "Artinya, waktu kita hanya seminggu lagi."
"Apa yang kalian dapat selama tiga hari berlatih?" tanyanya berulang, selalu intens dan menengangkan.
"Untukku," cetus Haley. "Mulai terbiasa karena sudah memiliki dasar-dasar kemampuan di Hexha."
Sudah tiga puluh menit lalu aku datang ke aula--tempat kesadaranku hilang beberapa hari lalu. Kumpulan kursi kayu berjejer dan kami duduk di antaranya. Anggota rapat pada hari ketujuh semenjak kepergianku dari Chicago menambah. Haley dan Drew tetap berada di sisiku. Ed selalu di depan bersama Eleanor dan Mr. O'Reilly.
Sementara, Edgar tidak masuk hari ini. Ada sirat kegelisahan dalam raut wajahnya setiap waktu. Dan, Shaw pergi entah ke mana. Di balik itu, lelaki yang berada di sudut ruangan sangatlah mengganggu. Dia berdiri di sisi pria tua yang tidak kukenali. Penjaga itu adalah Delillah yang tetap mencuri-curi pandang ke arahku. Namun, aku tidak terlalu takut jika ia berbuat macam-macam. Aku bisa meninju wajah sangarnya kapan saja.
Dua wanita lain yang mengikuti rapat adalah dua petugas yang semula berjaga di ruang kesehatan. Lawrence yang berambut hitam, serta satu lagi yang tak kuketahui namanya. Kedua wanita itu berkacamata.
"Persiapkan mentalmu dan berjuang sebaik apa yang kalian bisa," kata Mr. O'Reilly. Menatap kami bertiga. Raut wajahnya lebih redup daripada beberapa hari lalu. Bulu-bulu di dagunya mulai tumbuh. "Kuanggap kalian adalah perwakilan dari pemuda lain yang menjalankan pelatihan dan coba kerahkan semangat terbaik."
"Kami selalu mencobanya," kataku, "semoga berjalan lancar dan sesuai rencana."
"Selanjutnya." Mr. O'Reilly mengedarkan pandangan ke arah dua wanita yang sebelumnya pernah kutemui. Catatan-cacatan yang tidak kuketahui isinya tetap mereka bawa. "Apa hasil terbaru dari Alec?"
Sontak jantungku mencelus mendengar namanya. Semua menoleh dengan serempak. "Biarkan aku membacakannya," ujar Lawrence, seraya membenarkan kacamata serius.
Mr. O'Reilly mengangguk. Tulisan acak-acakan yang semula kulihat, ternyata adalah perkataan-perkataan Alec yang mereka catat. Aku mulai mengerti betapa pentingnya itu. Satu-satunya bocoran adalah perkataan Chicago yang dihubungkan lewat Alec. Aku berusaha kuat jika mengingatnya lagi. Ancaman mereka nyata, dan keadaan Shasha masih kelabu.
Kami mendengar kata-kata Lawrence dengan serius. Bahkan, suasana menegang begitu Lawrence menghentikan kalimatnya, mengusap air mata dan melanjutkan. Selama aku tidak bersama Alec di siang hari, kata-kata Chicago selalu muncul dan dua petugas itu mencatatnya. Ada emosi yang kuat dari raut wajah mereka. Dan, itu semua memang brutal.
"Shasha Prime adikku." Aku menoleh begitu Mr. O'Reilly mengajukan pertanyaan--setelah Lawrence selesai membacakannya. Kemudian, tatapan iba Eleanor sedikit meneduhkan hatiku, seolah mengisyaratkan bahwa aku harus mengatakannya, demi kepentingan Shelter Dome. "Dia ... tertinggal di Chicago."
"Ancamannya sungguh nyata." Mr. O'Reilly berpikir keras. Ada sebuah kehancuran dalam benaknya. "Kira-kira apa yang akan kaulakukan? Menyerahkan diri?"
"Tidak sekalipun," sergahku kuat, walau sebenarnya berat. Bahwa aku telah gagal melindungi Shasha. Janjiku di hadapan Dad beberapa bulan sebelum dirinya meninggal, gagal kutepati.
"Aku tidak bisa menyebut dirinya kuat begitu mendengar hal itu," ucap Drew tiba-tiba. Embusan napasnya menenang, perlahan jemarinya mencengkeram erat tanganku. "Siapa yang terima jika seseorang yang kita sayangi melenyap? Keputusan Alessa sangatlah berat. Tidak ada yang ingin mengalami semua itu. Namun, tetap, jika kami menyerahkan diri ke Chicago, semuanya akan mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Ciencia FicciónPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...