8.3 Crest of Life

608 94 11
                                    

Okay, let's start.

Tarik napas, lalu keluarkan. Kalau mau teriak ya teriak aja, asal jangan bikin kaget orang juga. :3

Maaf juga ngaret update duh. Leave vomments, ya, ya?

***


Alec yang kuat, Alec yang siap dalam menjalani segala hal, atau Alec yang malang di saat-saat terakhirnya. Terlalu sulit untuk dibayangkan kala perjalanan pria itu terhenti, sedangkan sebuah harapan untuk menang mengganjal dalam hatinya. Di tengah desiran darahnya yang mulai tersumbat, netranya berkaca-kaca. Saat sisa-sisa napas pria itu tercekat, ia dekap harapannya. Dan, di sisa kesadarannya, dia ingin berucap, terlepas dari segala rasa sakit yang ia alami di detik-detik terakhir.

Dan, dia tidak berhasil. Tancapan peluru menyelusup ke kedalaman tengkoraknya.

Semua itu hanya angan-angan, karena kematian langsung merengkuh tubuh lunglainya. Pada gugurnya Alec, siklus hidupnya terhenti, walau ada sebuah pesan yang menyusup di antara sel-sel otakku, bahwa aku harus mencapai tujuannya.

Alec punya keinginan agar aku berhasil, sekalipun dia mati. Harus ada yang melanjutkan apa yang telah ia perbuat dengan susah payah, apa yang telah dirinya rintis dari awal.

Pria itu usai mengerahkan kemampuan dengan nyawa sebagai tanggungan utama. Karena sejatinya, saat nyawanya melayang, apa-apa mengenai Alec terhenti. Tidak akan ada yang pernah mendengar bagaimana suara dengan gaya sarkasnya yang khas, alih-alih hanya harapan semata.

Benar, aku mengharapkan apa pun mengenai Alec sekalipun dia telah tiada.

Dan, pada titik ini, harapanku benar-benar pupus dalam perasaan teraduk-aduk. Keinginan Alec seolah tidak memiliki jalan terang saat aku merasa gagal, saat aku berada bersama mereka yang sedang menyeretku keluar area pepohonan. Kendati mataku sudah berkunang-kunang dan pening tak tertahankan, ada berbagai figur yang memaksaku untuk menyaksikannya.

Tidak ada lagi bonggol-bonggol akar ataupun ranting pepohonan. Sejauh mata memandang, rumput terhampar di segala sisi--dengan sifat permukaan yang menurun. Perih rasanya, padahal tidak ada sinar matahari yang menyusup di antara bumbungan awan kelabu, hanya sebatas desiran angin kencang yang berlawanan arah dengan langkah kakiku.

"Lepaskan, Sialan!!" Haley masih berontak karena sadar bahwa lengannya masih terkunci. Mau bagaimanapun dirinya meracau, para tentara tetap bungkam. Seolah, masing-masing telinganya disfungsi secara mendadak tanpa alasan yang kuat.

Di sisi lain dari posisiku diseret, Drew mengalami hal serupa tanpa berusaha memberikan perlawanan. Dia hanya menebar pandang sebelum membuang muka lagi, tetapi ada sirat ingin menyampaikan pesan sejauh apa yang kulihat dari ekspresinya. Terlepas, atmosfer kengerian semakin melekat--aku dapat menyaksikan gedung-gedung tinggi kendati jaraknya cukup jauh--dan, kelihatannya jauh dari kata baik. Sisa-sisa asap dan bau-bauan api masih kentara menyengat.

Di tempat itu pula, sebagian dari bangunan tersebut runtuh, bengkok, dan kelihatan hitam, seakan tidak lagi menunjukkan keberadaan makhluk hidup di dalamnya. Pemandangan di hadapan sana memaksa tubuhku menjadi stagnan, alih-alih kebas karena terkejut.

Tidak ada yanng tidak muak saat punggungmu didorong secara kasar oleh orang-tak-dikenal. Satu poin lain: kedua tanganku ikut terkunci dalam kendali si tentara. Kami sama-sama memberikan tenaga yang bersifat berlawanan, setengah tenaga dari si tentara--yang memaksaku untuk terus maju menyusuri area rerumputan--separuhnya lagi, aku yang menahannya, sekuat apa yang bisa kulakukan.

Xaviers (Tamat - Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang