Six Feet Under - Billie Ellish
***
A
pa yang baru saja terjadi kontan menyebabkan tremor yang bersarang di sekitaran tubuhku. Haley tumbang dalam pangkuan Drew, napasnya naik turun seirama dengan detak jantungnya. Di antara sisa-sisa Xaviers yang mengacungkan revolver ke arah Jenderal Doug, aku memutuskan untuk maju selangkah--berusaha melepaskan sebesar apa pun kecemasan mengenai keadaan Haley saat ini.
Detik-detik pembalasanku ada di depan mata, dan hal yang mutlak adalah: aku tidak akan membiarkan Haley mati di tangan Jenderal Doug. Lenganku mulai teracung seraya mengarahkan moncong pistol mitraliur ke arahnya. Dalam jarak dekat seperti ini, muka bengis tanpa sirat takut sedang melayangkan tatapannya terhadapku. Dia bukan siapa-siapa sekarang, segalanya telah hancur lebur semenjak para Xaviers menggempur Chicago habis-habisan.
"Apa yang harus kutakutkan detik ini?" ungkapnya, masih dalam posisi kedua tangan mengangkat seakan pasrah. "Kau akan menembakku?"
Aku bungkam sesaat, sempat melirik Drew yang melancarkan tatapan tajam ke arah si pria klimis di ambang pintu utama. Drew bungkam di atas Haley, tetapi kemarahan yang terganjal timbul dari matanya.
"Menunduk!" ujar salah satu di antara enam Xaviers yang tersisa. Tubuh mereka dibanjiri peluh, sedangkan, di belakang sana, kobaran api mulai membesar. "Tangkap dia!"
"Tampaknya...," Jenderal Doug mengulas senyum yang sesaat kemudian berubah bentuk menjadi seringai ganas, "kita akan mati bersama. Kuharap kawanmu yang pertama."
"Buat dia berlutut!!" Beberapa Xaviers mendekat ke arah Jenderal Doug, memaksa agar dirinya berlutut di bawah kendali mereka. Kudengar tawanya tatkala tangan pria itu terkunci. Rambut yang mulanya klimis, mulai terlihat masai dan acak-acakan. Dalam jarak tiga puluh sentimeter yang memisahkan kami, sialnya, sepasang mata pria ini tidak menunjukkan kecemasan sedikit pun. Apa yang dia inginkan adalah timbulnya emosi dan rasa takut dari diriku.
Yang artinya, detik ini aku tidak perlu menunjukkan apa-apa yang dia inginkan. Dia akan bersenang hati saat melihat aku rapuh.
"Enam menit lagi, Alessa Prime." Dia terkekeh, bahkan aku mendengar suara parau dari mulutnya. "Bom kolosal yang bersarang di Holy Groot telah aktif, itu kabar buruknya, eh? Dan .... hal bagusnya, setengah Chicago akan habis, kemudian, kau dan aku .... akan merasakan hal yang sama. Kita tidak perlu merasakan kacaunya dunia--"
Segala frasa yang dia keluarkan mengakibatkan dadaku panas. Sedetik kemudian, di tengah denyutan keras dalam otakku, kutekan pelatuk tanpa segan tepat di hadapannya. Kedua lenganku bergetar hebat, terutama saat menyaksikan objek besi yang menembus tulang tengkoraknya. Darah yang keluar langsung memancar ke sekitaran tubuhku, menandakan bahwa jalan hidupnya telah berakhir. Dan, harus kupastikan, dia tidak sepenuhnya gagal saat bom besar itu menghancurkan segalanya. Semua berlalu dengan begitu cepat. Tidak dramatis, tetapi memacu bibit kehancuran bagiku, tidak butuh lama untuk menyebabkan sepasang kakiku kebas.
Ketepatan waktu yang akan menentukan bagaimana hidup kami berakhir; enam menit yang akan datang, atau usia renta, tatkala seluruh bagian tubuhku berubah menjadi seonggok tulang yang dilapisi oleh kulit keriput.
"Kau membunuhnya!!" teriak salah satu Xaviers dengan ketegangan memuncak. "Kita ditugaskan untuk--"
"Gunakan waktu kita, sebelum Chicago hancur. Lari ke arah pesawat-pesawat di lapangan Holy Groot!! Beritahu mereka!" Jantungku semakin terhenyak tatkala menyadari bahwa keadaan kami semua berada di ambang batas. Misi-misi dan aturan yang sebelumnya terbentuk seakan diabaikan. "Lari! Lari!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Xaviers (Tamat - Proses Revisi)
Ciencia FicciónPemenang Wattys 2017 dalam kategori Storysmiths. Rank # 5 on Sci-fi 26-01-'18 Ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa mendapatkan jati dirinya. Berusaha bertahan hidup walaupun satu hari, demi hidup aman di suatu masa. Dalam perjalanan panjang m...