1. Sial yang Tak Berujung

85.2K 3.8K 261
                                    

Sebelum Membaca:

Halo semua, cerita ini saya republish dan rencananya akan saya keep sampai ending. Tapi, untuk kalian yang masih pengen punya cerita ini dalam bentuk cetak, bisa langsung cek instagram CoconutBooks atau Melvana ya!

Oiya, sedikit bocoran, setelah cerita ini selesai saya republish, saya mau buat sekuelnya juga. Jadi, semoga masih suka yaa.

Selamat Membaca:


 

PEREMPUAN berseragam putih abu-abu yang sedang duduk di sebuah bangku di pinggir lapangan dengan wajah ditekuk itu tidak berhenti menggerutu melalui bibir mungilnya. Dia benar-benar tidak bisa beradaptasi di tempat barunya.

Kenapa harus Bandung?

Matanya menangkap seorang lelaki tegap yang sedang berjalan di koridor dengan sebuah buku tebal di tangannya. Kemudian perempuan itu mendengus.

Kali ini, matanya terarah pada perempuan-perempuan di sepanjang koridor yang akan berteriak tertahan ketika lelaki itu melewatinya. Lagi, dia mendengus.

Melihat lelaki itu selalu mengingatkannya pada kejadian yang benar-benar tidak pernah ia harapkan akan terjadi dalam hidupnya.

Gishara Aluna. Perempuan dengan rambut lurus sebahu kecokelatan yang tidak pernah tersenyum sekali pun semenjak kepindahannya di sekolah barunya itu, terpaksa, harus mengulang tahun terakhirnya di SMA.

Bukan keinginannya, tentu saja. Tapi, mau bagaimana lagi? Sebanyak apapun dia berpikir apa yang salah dengan hidupnya, dia selalu berakhir pada pernyataan menjadi nakal adalah takdirnya.

Tidak, ini tidak seperti kebanyakan kisah di mana dia terlahir di sebuah keluarga yang tidak harmonis. Kedua orang tuanya ada. Tidak juga sibuk dengan pekerjaan mereka. Walaupun keduanya memang memiliki pekerjaan masing-masing, mereka selalu menyediakan satu hari di mana mereka akan menghabiskan waktu bersama.

Dan tidak, dia juga tidak kekurangan sesuatu dalam bentuk apapun. Dia memiliki kasih sayang kedua orang tuanya karena dia anak semata wayang. Materi? Tentu tidak. Ayahnya bekerja di kementrian luar negeri dan ibunya memiliki butik yang bahkan artis terkenal pun pasti pernah menginjakkan kakinya di sana walau hanya sekali.

Bagi seseorang seperti dirinya, akan sangat sempurna kalau dia adalah perempuan pintar yang pandai bermain musik dan mudah bersosialisasi, bukan?

Tapi, kesempurnaan itu tidak ada. Menurut Gisha, kesempurnaan itu hanya milik yang di atas.

Lantas, kenapa? Sekali lagi, dia telah ditakdirkan untuk menjadi nakal, itulah yang selalu menjadi alasannya.

Karena tidak lulus di sekolah lamanya, perempuan blasteran Jawa— Arab itu dipaksa ayahnya untuk mengulang kembali satu tahun kelas dua belasnya—tentunya, setelah dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya—dengan harapan dia bisa berubah menjadi perempuan manis yang akan lulus dengan nilai yang memuaskan.

Dan, di sini lah dia sekarang. Dititipkan di rumah kerabat ayahnya di Bandung dan disekolahkan di salah satu sekolah negeri yang terkenal karena kedisiplinannya yang berada di luar nalar, setidaknya begitu menurut Gisha. Dia bahkan sampai tidak berhenti mengerjap melihat isi sekolah barunya itu di hari pertamanya masuk. Semua siswanya berpakaian rapi, semuanya sama, kalau boleh sedikit berlebihan, dia tidak bisa membedakan antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Dan yang menurutnya lebih parah, hampir semua siswa di sini berkacamata. Gisha selalu berpikir kalau orang berkacamata itu pintar. Dia juga sama sekali tidak melihat perempuan-perempuan berseragam ketat, padahal semua siswi di sekolah lamanya begitu. Dan lagi, Gisha pernah izin ke kamar mandi satu kali ketika jam pelajaran berlangsung dan sekolah itu seperti alih fungsi menjadi kuburan. Sepi. Tidak terdengar apapun kecuali suara guru yang sedang menjelaskan setiap Gisha melewati ruang kelas. Tidak ada anak lelaki yang duduk-duduk di depan kelas seperti di sekolah lamanya, tidak ada yang membolos untuk sekedar membeli makanan ke kantin, tidak ada yang seperti itu. Sama sekali. Dan hal itu masih membuat dirinya geleng-geleng kepala sampai saat ini, satu minggu setelah kepindahannya.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang