SELAMA jam pelajaran, untuk pertama kali selama duduk di bangku sekolah, Angkasa tidak bisa fokus pada pelajaran yang diberikan gurunya di depan kelas. Dan alasannya hanya satu; Gisha.
Dia bahkan berpikir kenapa dia harus memikirkan Gisha.
Ini semua gara-gara panggilan telpon yang tadi pagi datang pada Gisha.
Angkasa tidak tahu siapa yang menelponnya, tapi Gisha langsung berbeda setelah mengangkat telpon itu. Dia jadi diam dengan mata nyalangnya. Dia tidak memerhatikan guru, juga tidak mengatakan satu patah kata pun. Dia hanya sesekali melihat ponselnya dengan cemas dan terus menerus melihat jam tangannya.
Dan Angkasa penasaran!
Angkasa yang biasanya terlalu malas untuk memedulikan orang lain, merasa penasaran dan jadi ikut khawatir melihat Gisha seperti orang gila begitu.
Akhirnya, saat bel istirahat berbunyi—setelah memastikan kelas kosong tentunya—Angkasa berjalan ke bangku Gisha dan duduk di ujung meja perempuan itu.
Lelaki itu mendengus ketika Gisha bahkan tidak menyadari kehadirannya walaupun matanya menatap ke depan.
"Gi, kenapa?" tanya Angkasa akhirnya, membuat Gisha mengerjap dan terkesiap begitu melihat Angkasa ada di hadapannya.
"Hah? Apa yang kenapa?" tanyanya sambil melihat sekeliling dengan bingung.
Angkasa semakin yakin saja kalau memang ada yang tidak beres dengan Gisha.
"Elo. Kenapa, Gisha?" tanyanya menekankan setiap suku kata.
Perempuan itu menghela nafas seraya menatapnya sedih. "Mami, Sa."
Angkasa menegakkan tubuhnya. "Tante Vanya kenapa, Gi?" dia bertanya. Sepertinya mulai mengerti ke arah mana kekhawatiran Gisha bermuara.
Gisha menelan ludah, kakinya tidak berhenti bergerak sedari tadi. Seolah dia ingin berlari secepat mungkin tapi sesuatu menahannya. "Dia jatoh dari tangga butik tadi pagi. Sekarang dia masuk rumah sakit."
Angkasa tertegun. Tidak tahu harus mengatakan apa atau bereaksi bagaimana.
"Gue khawatir banget, Sa." Lanjut Gisha sebelum Angkasa sempat membuka mulutnya.
Angkasa menggigit bibir bawahnya. Hanya satu hal yang terpikirkan olehnya saat ini. Tapi, haruskah dia melakukannya?
"Gue sayang banget sama Mami, Sa." Gisha menjatuhkan kepalanya di atas meja. Memejamkan matanya, seolah mencoba menepis jauh-jauh rasa khawatir dalam dirinya walaupun itu tidak mungkin.
Angkasa menelan ludah. Sepertinya dia memang harus.
Angkasa meraih buku-buku Gisha yang berserakan di meja dan membereskannya, dia juga memasukkan pensil dan pulpen Gisha ke dalam kotak pensilnya sebelum memasukkan semuanya ke dalam tas milik perempuan itu.
"Ayo, pulang." Katanya seraya berdiri dan mengulurkan tangan.
Gisha mengangkat kepalanya lalu mau tak mau tertawa juga. "Yang sakit kan Mami, Sa. Kok malah ngajakin gue pulang?"
Angkasa memutar kedua bola matanya. "Pulang ke Jakarta, Gisha."
"Hah?" Gisha mengerjap, lalu ekspresinya terlihat seperti sedang memastikan kalau indra pendengarannya tidak tiba-tiba rusak.
"Gue bakal nemenin lo. Jadi, ayo pulang." Ulang Angkasa.
Gisha kembali mengerjap, sepertinya masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Angkasa barusan. "Kita kan ada ulangan Sejarah nanti siang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...