GISHARA Aluna benar-benar tidak bisa mendefinisikan perasaan bahagianya saat ini. Bandung tiba-tiba menjadi kota favoritnya sekarang. Menggeser Lombok yang tadinya menempati posisi pertama. Tidak bisa dibandingkan memang, jika mengingat banyaknya destinasi luar biasa di Lombok dengan di Bandung yang hanya itu-itu saja. Tapi, mengingat Angkasa Dirgantara adanya di Bandung dan bukan Lombok, jadi, bye-bye, Lombok. Bandung, menang.
Hari-hari Gisha berikutnya berjalan dengan sangat mulus, dan tentunya menyenangkan. Gisha selalu bangun pagi dengan semangat karena memikirkan Angkasa, dia selalu belajar dengan baik di sekolah maupun di rumah karena memegang teguh tujuan gue baru boleh pacaran sama Angkasa kalau nilai gue bagus, dan Gisha juga tidak pernah absen tersenyum setiap harinya. Entahlah, tapi jika semua ini hanya mimpi, Gisha benar-benar berharap untuk tidak dibangunkan dari tidurnya.
Om Krisna dan Tante Anggi mengetahui tentang kedekatan Gisha dan Angkasa. Dan, mereka luar biasa setuju dan bahkan beberapa kali lebih excited dibanding Angkasa dan Gisha sendiri tentang hubungan mereka. Gisha bersyukur karenanya. Mereka rupanya tidak mengindahkan kenyataan kalau Gisha sempat tidak lulus SMA tahun lalu. Papi Mami Gisha juga mendukung habis-habisan. Tapi, kalau yang ini, sih, tidak perlu ditanya. Maksudnya, siapa yang tidak mau anaknya memiliki hubungan spesial dengan lelaki seperti Angkasa? Rugi, deh, kalau ditentang. Mungkin karena kedua orang tua Gisha dan Angkasa sudah dekat sejak lama, jadi mereka benar-benar senang dengan kedekatan anak-anaknya.
Bintang? Jangan ditanya. Dia bahkan yang paling semangat dan terus mengatakan udah, jadian aja langsung, Kak Gisha nilainya pasti bagus, kok. Dan, ngomong-ngomong tentang Bintang, perempuan kecil itu sudah kembali melanjutkan boarding schoolnya sejak beberapa bulan yang lalu. Iya, beberapa bulan memang sudah berlalu yang artinya segala hal yang berawal dari kata Ujian akan segera dimulai.
Gisha gugup, tentu saja. Takut, pasti. Tapi, dia punya tujuan. Dan, tentu saja ini bukan hanya tentang Angkasa—meskipun lelaki itu memang mengambil andil besar dalam hal ini–tapi juga tentang kedua orang tua Gisha yang sempat ia permalukan habis-habisan dengan tidak lulus sekolah, tentang Kaila yang tidak pernah bosan memberinya dorongan semangat, juga tentang ...Karin.
Gisha benar-benar seolah tersadarkan saat ini. Selama ini ...rasanya dia telah begitu egois. Memangnya Karin di atas sana akan senang jika hidup Gisha menjadi berantakan seperti sebelumnya? Apa Karin masih mau menjadi sahabatnya jika Gisha bukan orang yang baik? Karena itu, Gisha kembali berubah. Gisha tidak lagi menjadi Gisha yang berpikir kalau dirinya tidak bisa hidup dengan baik jika Karin juga tidak. Setidaknya, salah satu dari mereka harus bahagia agar keduanya bahagia, bukan? Setidaknya, seperti itu lah persahabatan. Dan, Gisha juga melihat dengan jelas hal itu pada Angkasa dan Dewa.
Angkasa yang baik.
Angkasanya yang begitu baik.
Gisha sama sekali tidak marah lagi pada Angkasa saat ini karena kejadian dulu. Karena Angkasa membuatnya sakit hati seperti dulu. Tapi, dia justru bersyukur karena Angkasanya itu adalah lelaki yang baik hati. Dia sekarang mengerti, dulu Angkasa tengah memberi ruang untuk orang-orang yang ia sayangi agar bahagia. Meskipun dia tidak merasakan hal yang sama. Tapi, memberi ruang bagi orang lain supaya bahagia itu seharusnya bisa membuat kita bahagia, bukan? Jadi, Gisha sama sekali tidak marah. Meskipun tidak bohong, rasa sakitnya dulu bukan main-main.
Tidak masalah. Apa yang dulu terjadi bukan lah masalah. Semuanya pelajaran. Pelajaran yang begitu berharga. Lagi pula, saat ini Gisha sudah begitu bahagia. Jadi, dia tidak memiliki alasan untuk bersedih karena hal-hal yang sudah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...