JIKA Gisha harus menyebutkan hal-hal aneh yang ada di dunia, maka hal pertama yang akan ia sebutkan adalah sikap Angkasa terhadapnya. Seperti yang terjadi tempo hari—ketika Gisha membolos bersama Dewa– Angkasa lagi-lagi bertingkah aneh. Tapi, kali ini bahkan lebih parah. Lelaki itu menjadi sangat dingin terhadap Gisha. Dia bahkan kerap kali menganggap seolah Gisha tidak ada. Angkasa yang biasanya menemaninya menonton televisi atau hanya sekedar duduk-duduk di ruang keluarga sebelum malam tiba, kini selalu sudah berada di dalam kamarnya dari pulang sekolah dan hanya akan keluar ketika Mamanya memanggil untuk makan malam. Angkasa yang biasanya selalu mau diajak pergi kemana-mana oleh Gisha—walaupun diawali dengan dengusan atau dia setuju karena keterpaksaan– kini bahkan tidak pernah mengobrol empat mata lagi dengan perempuan itu. Saat berangkat sekolah pun, Angkasa yang biasanya menunggu Gisha membuka helmetnya, membereskan pakaiannya, dan mereka akan berjalan bersama ke kelas saat ini bahkan tidak mau peduli dan selalu meninggalkan Gisha di belakang. Lalu, sekeras apapun Gisha akan memanggilnya nanti, lelaki itu tidak pernah berbalik. Dan hal ini benar-benar membuat Gisha kewalahan.
Jemari Gisha mengetuk pintu kamar Angkasa dengan tidak sabar, beruntung, lelaki itu membukakan pintu sebelum buku-buku jari Gisha memerah.
Mata Angkasa menatap Gisha dengan datar dan dingin dari balik kacamata bacanya sebentar sebelum lelaki itu kembali masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi belajarnya, lagi, seperti ini, mengganggap Gisha tidak ada.
Gisha diam di ambang pintu kamar Angkasa dan bersandar pada salah satu temboknya, memerhatikan Angkasa yang sedang disibukkan oleh tulisan-tulisan tentang hidrolisis atau semacamnya dengan harapan lelaki itu akan terusik dan mengajaknya bicara terlebih dahulu.
Gisha mengetukkan kakinya pada lantai dengan tidak sabar ketika Angkasa ternyata tidak juga bertanya dan seolah tidak terusik sama sekali karena lelaki itu masih saja sibuk membaca dan menulis sesuatu di bukunya.
Menyerah, Gisha berjalan masuk ke dalam kamar Angkasa dan duduk di sofa yang ada di sana.
"Sa, apa deh." Gisha menghembuskan nafasnya kesal. "Lo tuh bukan power rangers, nggak usah sok-sok berubah, kenapa?"
Angkasa masih belum membuang fokusnya dari reaksi-reaksi kimia di dalam buku catatannya dan hal itu membuat Gisha benar-benar ingin meledak saat itu juga. Tapi, Angkasa lalu terlihat menghela nafas dan memutar kursi belajarnya menghadap Gisha.
"Kenapa?" tanyanya datar.
Gisha berdiri dengan emosi. "Kenapa kata lo? Lo tuh yang kenapa! Semenjak lo nganterin gue ke sekolah buat ngambil hp itu, lo jadi gini. Jadi dingin. Aneh. Sa, lo nggak gini sama gue. Gue salah apa? Mending lo bilang deh, soalnya gue nggak nyaman banget sama lo yang kayak gini. Dan, kalau gue emang ada salah, oke, gue minta maaf. Tapi mau gue mikir sekeras apapun, gue nggak nemu ada di mana letak kesalahan gue. Jangan bikin gue bingung gini bisa nggak?" Gisha berujar dengan berapi-api. Sedikit membentak. Dan, Gisha jadi menyesal setelahnya.
Kenapa dia tidak berkata dengan baik-baik saja? Aduh, memalukan.
Angkasa menghembuskan nafasnya dan ekspresi di wajahnya tidak berubah sedikit pun. "Maksud gue, kenapa lo masuk kamar gue? Ada perlu?"
Jleb.
Gisha menelan ludah.
Kenapa ucapan Angkasa terasa menyakitkan? Rasanya seperti jantungnya baru saja ditusuk oleh tongkat Zeus atau apapun itu.
Maksudnya, hey, Gisha perempuan. Dan, demi apapun di dunia ini, dia sudah membuang semua gengsinya demi mendatangi Angkasa terlebih dahulu dan mengajaknya bicara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...