SAMPAI pagi keesokkan harinya, Gisha mencak-mencak di kamarnya semenjak bangun tidur. Perempuan itu juga menggerutu tidak jelas. Dan, akar permasalahan alias alasan kenapa Gisha seperti itu adalah Angkasa. Bagaimana tidak? Gisha kesal setengah mati saat ini. Kemarin malam, setelah dia ketahuan mengintip Angkasa sedang mengobrol dengan Tante Anggi, pikirannya langsung liar. Dia langsung berpikir macam-macam. Apakah Angkasa akan segera menghampirinya dan mengomelinya karena menguping? Oh, jujur saja. Gisha rindu omelan Angkasa. Atau, apakah lelaki itu akan langsung berlari ke arahnya dan meminta maaf? Lalu, kembali ke skenario-skenario yang sebelumnya ia buat? Atau, Angkasa akan menghampirinya dan mengatakan hal-hal yang Gisha harapkan?
Semua pemikirannya saat itu diawali oleh Angkasa akan menghampirinya. Karena, walaupun yang lainnya masih ambigu, Gisha yakin yang satu itu pasti terjadi. Angkasa setidaknya akan—atau harus–menghampirinya, kan? Setelah hampir seminggu tidak bertemu, tidak kah seharusnya mereka bertatap muka dan mengobrol? Membicarakan tentang ...semuanya.
Tapi. Si bodoh Angkasa malah menatapnya beberapa detik, berjalan melewati tangga tanpa melihat lagi ke arah Gisha dan duduk di depan televisi. Menonton bersama Bintang.
Gisha keki.
Angkasa ini kenapa lagi?
Apa dia masih belum mau meluruskan masalah yang sebelumnya? Masa harus selalu Gisha yang memulai? Dia tahu dia memang lebih tua dan seharusnya bisa berpikir lebih dewasa. Tapi, tetap saja, dia ini kan perempuan.
Setelah menggerutu kesal, malam itu Gisha langsung kembali ke kamar dan tidak keluar lagi sampai saat ini. Ketika dia bangun dan jam menunjukkan hampir pukul tujuh pagi.
Bintang sudah tidak ada di sampingnya. Sepertinya sudah bangun. Gisha ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan pikirannya. Tidak bisa begini terus. Gisha benar-benar tidak tahan. Dia harus mendatangi Angkasa lebih dulu—masa bodoh dengan gender, Kaila bilang ini sudah 2016–dan membicarakan semuanya dengan Angkasa.
Selesai mandi, Gisha berganti pakaian dan berjalan keluar dari kamar Bintang. Entah hanya perasaannya atau memang benar, rumah Om Krisna dan Tante Anggi pagi ini terasa sangat sepi. Ya, dia memang sedang ada di atas, tapi biasanya, dari sini sudah terdengar suara televisi menyala, atau samar-samar terdengar suara Om Krisna sedang mengobrol dengan Tante Anggi, atau suara Bintang yang tengah mengomel tentang sesuatu, atau suara pisau yang beradu dengan talenan, atau bahkan suara Goldi menggonggong. Biasanya tidak pernah sesepi ini.
Apa semua orang sedang keluar? Sepertinya begitu.
Gisha baru saja hendak berjalan ke arah tangga untuk turun ke lantai bawah ketika ada sesuatu berwarna kuning terang yang mengganggu pengilahatannya.
Gisha menoleh, sesuatu itu ternyata sebuah post-it kuning yang ditempel di depan pintu kamar Angkasa. Penasaran, Gisha melangkah mendekat dan menariknya.
Dia membaca tulisan tangan rapi di atas permukaan kertas persegi itu dan sudut bibirnya terangkat.
Nineteen reasons why you should love me.
Reason number one:
I am good at math. I can count everything. I can even count how many days that we spend together.
For now: 157 days and still counting.
Gisha terkekeh dan berjalan dengan semangat menuruni tangga. Kalau ini yang pertama, bukan kah masih ada delapan belas yang lain? Apakah ini cara Angkasa untuk meminta maaf? Jika memang begini, maka semua skenario-skenario bodoh yang dia buat kemarin tidak ada apa-apanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...