SEPERTINYA lembab adalah kata yang paling cocok untuk mendeskripsikan keadaan lapangan upacara SMA Negeri Nusantara saat ini. Karena guyuran hujan tadi malam, para siswa harus upacara di atas permukaan lapangan yang setengah basah. Ditambah dengan tetesan air yang jatuh dari pohon-pohon besar yang jumlahnya lumayan banyak di sana. Dan hal itu merupakan salah satu faktor terbesar kenapa sekolah itu berhasil menyandang gelar Adiwiyata Mandala.
Ketika MC upacara telah menutup rangkaian acara dengan mengucapkan salam, semua siswa yang awalnya berbaris rapi di lapangan langsung membludak dan bergerak abstrak tapi dengan satu tujuan yang sama, keluar dari lapangan.
Empat jam pelajaran pertama hari senin Gisha di sekolah berjalan dengan lancar. Selain karena Gisha tidak pernah mengantuk di pagi hari, guru yang mengajar pagi itu pun adalah guru yang diberi julukan "mati-mati-kau" oleh para siswa. Guru mata pelajaran matematika itu memang salah satu guru dalam deretan guru killer di sana. Dan Gisha tidak mau mencari gara-gara.
Semua berjalan sebagaimana mestinya. Tapi ketika bel istirahat berbunyi, Gisha mulai kelabakan. Pasalnya, saat itu cacing-cacing di perutnya tidak bisa diam. Seharusnya tidak ada masalah dengan hal itu, Gisha hanya tinggal mengambil uang di dompetnya dan membeli makan di kantin sekolah. Tapi, dompetnya tidak ada.
Gisha melihat sekeliling kelas, sudah hampir kosong. Orang-orang pasti sudah berburu makanan di kantin.
"Ah," desahnya frustasi sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Meja Gisha kini sudah penuh oleh barang-barangnya yang dia keluarkan dari dalam tas dan tidak ada dompetnya di antara barang-barang itu.
"Pasti ketinggalan." Gumamnya pada diri sendiri.
Mata Gisha lalu melirik Angkasa yang masih duduk dengan tenang di kursinya sambil mendengarkan musik melalui headset berwarna putih.
Berbeda dengan kamar mereka yang berhadapan, tempat duduk mereka sangat jauh. Angkasa duduk di bangku ujung kanan paling depan—tipikal anak yang tidak mau melewatkan satu detik pun materi yang diberikan guru—sementara Gisha duduk di bangku ujung kiri kedua dari belakang. Bukan, Gisha bukannya tidak mau memerhatikan pelajaran, hanya saja ketika kepindahannya memang hanya bangku itu yang kosong.
Ketika dua orang terakhir di dalam kelas keluar, Gisha berdeham dan berjalan menghampiri Angkasa yang sedang melihat keluar jendela. Kelas mereka memang berada di lantai tiga dan sepertinya dari tempat duduk Angkasa, apapun yang ada di bawah sana bisa terlihat.
Lelaki itu menggerakan kepalanya pelan, sepertinya mengikuti alunan musik yang sedang dia dengarkan. Gisha sudah berada di hadapan Angkasa tetapi lelaki itu tidak menyadari keberadaannya.
Gisha mendengus seraya mengulurkan tangannya untuk melepas headset di telinga kanan Angkasa, membuat lelaki itu terperanjat dan langsung melihat sekeliling. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa di sana, Angkasa menatap Gisha malas. "Kan udah gue bilang kita nggak kenal di sekolah."
"Iya, gue tau. Tapi ini darurat, Sa." Kata Gisha.
"Apaan?"
Gisha sekali lagi mengedarkan pandangannya sebelum membungkukkan tubuhnya, membuat wajahnya sejajar dengan wajah Angkasa. "Pinjem duit."
Angkasa mengerjap, "Om Adhi nggak ngasih lo duit?"
"Ih, bukan gitu." Gisha menjawab cepat. "Dompet gue ketinggalan. Salah lo juga nyuruh gue buru-buru tadi pagi. Gara-gara itu juga gua jadi cuma sempet makan roti sepotong tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...