ANGKASA tidak memedulikan ponselnya yang berbunyi karena saat ini, fokusnya hanya tertuju pada satu objek. Gisha dan Dewa yang sedang duduk berdua di tengah lapangan. Dan karena melihat hal itu, dadanya bergejolak tiba-tiba. Darahnya memanas dan seolah naik ke ubun-ubun, bersamaan dengan tingkat kemarahannya. Ketika dia melihat Dewa sedang bersandar pada Gisha, oksigen di sekitarnya seolah semakin menipis saja, membuat dirinya dilanda sesak yang luar biasa.
Dia ini, kenapa sih?
Banyak pertanyaan yang bergelayut di benak Angkasa saat ini. Banyak sekali. Dan pertanyaan-pertanyaan itu menjadikan Dewa sebagai objeknya. Seperti, kenapa Dewa bisa ada di sekolah? Sedang apa dia di sana? Kenapa juga mereka jadi duduk bersama begitu? Dan yang paling parah, kenapa mereka harus ada dalam posisi seperti itu?
Angkasa menghela nafasnya keras. Lelaki itu tiba-tiba merasa kesal pada sahabatnya sendiri. Rasanya, dia ingin langsung berlari ke tengah lapangan dan menyingkirkan kepala Dewa dari pundak Gisha.
Astaga, kenapa dia jadi posesif begini, sih?
Tetapi, sebelum melakukan hal itu, Angkasa mengecek ponselnya terlebih dahulu mengingat ada pesan masuk sebelumnya. Dan jujur saja, sepertinya dia sudah bisa menebak apa isi pesan itu.
Lelaki itu menyentuh layar ponselnya dan ..dadanya semakin sesak saja ketika ia melihat apa yang tertera di sana ketika ia membuka sebuah pesan masuk yang rupanya memang datang dari Gisha.
Tepat seperti dugaannya.
Gishara Aluna
Sa, lo pulang duluan aja, ya?
Nanti gue pulang sama Dewa.
Tangan Angkasa terkepal tiba-tiba, jika saat ini siang, mungkin akan terlihat jelas kalau buku-buku jarinya bahkan sampai memutih. Lelaki itu memejamkan matanya beberapa detik sebelum dia kembali menghela nafasnya dan menghembuskannya perlahan, jelas sekali kalau dirinya sedang mencoba menenangkan sesuatu yang sangat menganggu di dalam tubuhnya. Di dalam hatinya.
Angkasa lalu berbalik dan berjalan kembali menuju parkiran.
***
"Lo beneran nggak apa-apa? Lo nggak ngomong satu kata pun dari tadi." Kata Gisha pada Dewa yang sudah berdiri di sampingnya ketika mereka hendak berjalan meninggalkan lapangan.
Dewa menggeleng pelan. Sekali lihat saja, Gisha sudah tahu kalau kondisi Dewa sedang tidak bagus. Mungkin kedua orang tuanya bertengkar lagi, itu yang pertama kali Gisha pikirkan bahkan sejak dirinya melihat wajah Dewa dengan ekspresi campur aduknya tadi.
"Kalau cerita, biasanya suka jadi lebih tenang, loh." Gisha berkata lagi. Sungguh, perempuan itu bukannya penasaran atau ingin tahu masalah Dewa, tidak, tidak sama sekali. Tapi, dia memang benar-benar menawari Dewa untuk bercerita karena ia tahu betul apa yang ia ucapkan barusan memang kenyataan. Menceritakan masalah kita pada orang yang kita percaya, kadang membuat kita merasa beban kita berkurang.
"Lo mau nemenin gue aja, udah lebih dari cukup." Ucap Dewa sungguh-sungguh diiringi dengan sebuah senyuman. "Makasih, ya." Lanjutnya.
Gisha terkekeh pelan. "Nggak usah makasih. Gue bahkan nggak ngapa-ngapain tadi." Iya, kenyataannya, Gisha memang tidak melakukan apapun kecuali duduk di samping Dewa dan membiarkan lelaki itu bersandar padanya selama hampir dua puluh menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...