20. Makan Malam Keluarga (II)

20.9K 1.9K 33
                                    

ESOKNYA, halaman belakang rumah Angkasa seolah alih fungsi menjadi tempat yang akan digunakan untuk pesta kebun. Bagaimana tidak, Om Krisna dan Tante Anggi sampai memasang tenda putih untuk memayungi meja dan kursi yang akan mereka gunakan untuk makan malam nanti. Membuat Gisha hanya geleng-geleng kepala dan berpikir satu hal: niat banget.

    Maksudnya, pasangan itu bertingkah seolah akan makan malam dengan presiden atau semacamnya. Ini, kan, hanya Mami dan Papinya. Makan di dalam rumah juga seharusnya jadi. Kenapa sampai harus menyewa EO begini? Kenapa sampai serepot ini?

    Tante Anggi terlihat sedang mondar-mandir di dapur dengan telpon genggam di tangannya, kelihatannya sedang menelpon Mami. Om Krisna juga sedang sibuk mengarahkan para pegawai EO yang sedang membereskan kursi dan meja di halaman. Oh, benar. Ada panggangan juga. Dan mereka juga menyiapkan sofa hangat di salah satu sisi. Dan, jangan lupa, ada api unggun!

    Gisha benar-benar memberikan empat jempol untuk kegigihan kedua orang tua Angkasa itu. Perempuan itu sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kaca yang akan membawanya langsung ke halaman belakang dan memerhatikan kesibukan orang-orang. Bahkan Angkasa juga sibuk karena disuruh Tante Anggi melakukan ini dan itu.

    Seperti saat ini.

    "Diga? Kamu di mana? Diga?" suara Tante Anggi terdengar memenuhi ruangan.

    "Ini, Ma. Kenapa lagi?" tanya Angkasa geram dengan kaki yang terburu-buru turun dari lantai atas karena sebelumnya diperintahkan untuk menyimpan dan mengambil sesuatu di sana.

    "Itu, Mama udah pesen kue-kue manis dari Tante Rita buat cemilan nanti. Coba kamu ambil di rumahnya, gih. Tau, kan? Tiga blok dari sini." Katanya sambil mendorong punggung Angkasa keluar.

    Angkasa terdengar mendengus tapi lelaki itu memang paling tidak bisa menolak permintaan Mamanya. Jadi, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut.

    Gisha sendiri sudah meminta pekerjaan pada Tante Anggi karena sedari tadi yang dia lakukan hanya diam saja. Tapi, Tante Anggi bilang Gisha memang cukup diam saja karena keluarganya adalah tamu spesial saat ini. Jadi, walaupun merasa tidak enak–atau malah merasa enak–Gisha menurut dan hanya memerhatikan saja.

    Proses persiapan itu membutuhkan waktu seharian. Untung saja mereka memilih makan malam. Kalau makan siang, kan, bisa-bisa semuanya keteteran.

    Tante Anggi, Om Krisna, dan Angkasa kini sudah terduduk dengan wajah lelah tapi puas di sofa. Dan Gisha tersenyum sendiri melihat mereka.

    "Bagus banget, Om, Tante. Padahal makan di dalem juga nggak apa-apa." Gisha berkata setelah duduk di hadapan tiga orang itu.

    Tante Anggi tertawa kecil. "Nggak bisa gitu, dong. Persahabatan kita berempat itu, sesuatu yang spesial. Jadi nggak boleh diisi sama sesuatu yang biasa aja. Ya nggak, Pa?" wanita itu meminta persetujuan suaminya.

    Om Krisna mengangguk. "Lagian, Om yakin orang tua kamu juga bakal serepot ini kalau makan malamnya di sana, Nak." Jawabnya.

    Gisha tertawa mendengar mereka. Setelah itu, Tante Anggi memberitahu kalau Mami dan Papi Gisha sudah dalam perjalanan. Jadi, ini sudah waktunya bagi mereka untuk segera mempersiapkan diri.

    Gisha langsung naik ke kamarnya. Mencari pakaian terbagus yang ia bawa. Masalahnya, jika dia memakai baju main atau piyama, Maminya pasti akan marah besar dan bilang dia itu memalukan.

    Karena tema makan malam itu formal, pilihan Gisha jatuh pada sebuah dress di atas lutut tanpa lengan –kalau kata Mbak Jum, namanya lekmong atau kelek katembong yang artinya ketek terlihat– berwarna peach agak tua mendekati oranye muda yang didesain oleh Maminya sendiri dan diberikan padanya sebagai hadiah ulang tahun. Dressnya pendek, dan seolah terbuat dari dua bagian. Bagian atasnya –dari pundak sampai pusar– diberi warna abu-abu gelap dengan lapisan brukat berbahan lembut berwarna serupa. Sedangkan warna peach adalah untuk bagian roknya yang dibuat dengan berlapis bahan sehingga terlihat mengembang sempurna tanpa perlu bantuan kipas angin atau semacamnya.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang