BUKAN hal yang aneh jika Angkasa Dirgantara terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam ajang Olimpiade Sains tingkat nasional. Bahkan ketika dia masih duduk di kelas satu SMP. Semua guru sudah tahu secerdas apa dirinya, karena itu, dia tidak perlu lagi diseleksi di antara teman-temannya yang sudah lebih senior untuk mewakili sekolah.
Dan walaupun awalnya tidak setuju dengan gagasan itu—mengingat olimpiade tersebut akan dilaksanakan di Jakarta dan Angkasa masih terlalu muda untuk pergi sendirian saja—dia akhirnya setuju juga setelah Papanya bilang kalau dia memiliki kerabat dekat yang tinggal di Jakarta.
Papanya yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai TNI dan Mamanya yang sedang hamil tua tentu saja tidak bisa menemaninya. Kakaknya pun sama saja karena dia sedang disibukkan oleh ujian masuk Universitas.
Jadi, Angkasa yang masih terbilang sangat muda itu akhirnya pergi ke Jakarta seorang diri. Guru pembimbingnya baru akan menyusul keesokkan harinya karena dia masih harus mengurus persiapan Angkasa dan siswa lainnya yang juga pergi masing-masing.
Jakarta sangat asing bagi Angkasa. Berbeda sekali dengan Bandung, kota kelahirannya. Dan sebaik apapun orang memuji salah satu kota metropolitan itu, Angkasa pribadi akan tetap lebih suka tinggal di Bandung.
Jakarta panas.
Jakarta ramai.
Jakarta terlalu metropolitan.
Untuk orang secerdas Angkasa, seharusnya menemukan sebuah rumah saja bukan hal yang sulit, mengingat akses yang dia punya untuk menemukan tempat itu sudah lebih dari cukup. Tapi, untuk pertama kalinya, saat itu Angkasa tersesat.
Karena salah naik bus, dia entah kenapa jadi ada di depan salah satu pusat perbelanjaan yang menurutnya sangat besar. Dia baru saja hendak menyetop taksi—awalnya dia sayang untuk mengeluarkan uang terlalu banyak, tapi naik bus sepertinya terlalu beresiko—ketika matanya menangkap sesuatu yang sangat menganggu.
Walaupun saat itu sudah gelap, Angkasa yakin dia melihat seorang gadis sedang duduk di trotoar sambil menangis sampai tubuhnya bergetar menatap sebuah sedan hitam yang menjauhinya. Dan, iya, itu sangat menganggu.
Awalnya dia tidak mau peduli, dia tahu sekali orang-orang kota itu kebanyakan apatis. Dan karena dia sedang ada di kota, dia juga ingin melakukannya.
Tapi hatinya berkata sebaliknya. Kakinya bahkan entah sejak kapan sudah berjalan mendekati perempuan itu.
Dia paling tidak bisa melihat perempuan menangis. Atau, jika memang perempuan itu sedang sangat ingin menangis, setidaknya, jangan perlihatkan hal itu. Itu membuat hatinya terganggu, sungguh.
Angkasa membuka jaket ditubuhnya ketika jaraknya dan gadis itu sudah tidak terlalu jauh. Dan ketika dia sudah tepat berada di hadapan gadis itu, Angkasa menjatuhkan jaketnya di kepala gadis yang tidak ia kenal tersebut tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya ingin perempuan yang sedang menangis sendirian itu tidak terlihat sedang menangis.
Dan, setelah itu, dia kembali berjalan. Seolah tidak pernah melihat apa-apa.
***
Gishara Aluna tidak bisa mendeskripsikan rasa senangnya hari itu. Pasalnya, orang tuanya yang sangat over protektif akan dirinya akhirnya memberi ia izin untuk menginap di rumah Karin, sahabat dekatnya sejak ia masuk SMP. Setelah membujuk mereka dengan seribu satu cara, akhirnya dia diberi izin juga.
Hari itu adalah satu hari sebelum hari ulang tahun Karin, dan mereka baru saja menyelesaikan Ujian Nasional, jadi, mereka membuat janji bersama. Mereka akan bersenang-senang di rumah Karin dari pagi hingga pagi lagi. Mereka akan menonton serial TV kesukaan mereka, mendengarkan lagu hingga larut malam, saling memakaikan kutek di kuku mereka, menonton film tengah malam ditemani pop corn karamel kesukaan Karin, dan membuat kue sendiri keesokkan harinya dibantu oleh Mama Karin untuk merayakan ulang tahun gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...