DENGAN peluh bercucuran di sekujur tubuhnya, Angkasa melepas earphone yang ia pakai ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. Dia menoleh ke kiri atas dinding rumahnya, di mana sebuah jam dinding kayu berbentuk kepala harimau terletak. Jarum pendek yang sudah berada hampir di angka sembilan membuat Angkasa menghela nafasnya sekali. Biasanya, dia sudah menyelesaikan kegiatan lari paginya pukul delapan. Tapi, hari ini dia bangun kesiangan dan alun-alun jadi lebih ramai dari biasanya. Jadi, ya, intinya dia pulang terlambat. Yang mana artinya, bubur ayam kesukaannya alias bubur Mang Ono juga pasti sudah lewat sedari tadi.
Angkasa berjalan ke arah dapur dan membuka lemari es untuk mengambil sebotol air mineral yang langsung ia minum. Setelah rasa hausnya terobati, lelaki itu berjalan ke meja makan rumahnya dan mendengus begitu tidak menemukan apapun di sana.
"Ma?" panggilnya agak keras.
Alih-alih Mamanya, yang muncul karena panggilan itu malah Gisha. Dengan rambut yang digulung oleh handuk khas orang baru mandi dan satu bungkus besar keripik kentang di tangannya yang sedang ia makan, Gisha berdiri bersandar pada tembok dan memerhatikan Angkasa sambil mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya.
"Sejak kapan lo jadi Mama gue?" kata Angkasa seraya berjalan ke arah wastafel dapur untuk mencuci tangannya.
Gisha mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Tante Anggi sama Om Krisna tadi pagi pergi, jam tujuhan. Katanya mau shopping. Bintang juga ikut." Katanya sambil mengunyah keripik kentang.
Sementara Angkasa memutar kedua bola matanya sambil mengeringkan kedua tangannya dengan handuk kecil yang tergantung di samping kiri wastafel dapur. Dia lapar sekali, sungguh. Betapa bodohnya dia karena lupa kalau setiap akhir pekan di awal bulan adalah jadwal untuk Mama dan Papanya berbelanja. Entah itu belanja kebutuhan dapur seperti sembako dan sebagainya, atau pakaian-pakaian kalau memang mereka sudah bosan dengan yang ada di rumah. Dan Angkasa sendiri sebenarnya selalu diajak setiap mereka akan pergi, tapi dia selalu menolak setiap ajakan tersebut kecuali jika Papanya sedang sibuk dan tidak bisa ikut. Dia tidak bisa membiarkan Mama dan adiknya berkeliaran di mall yang ramai tanpa pengawasan, bukan? Jadi, harus selalu ada laki-laki di antara mereka berdua. Entah itu Papanya atau Angkasa. Dan jika ikut pun, Angkasa biasanya akan terus mengomel sepanjang jalan dan terus meminta cepat-cepat pulang seperti anak kecil.
"Emang kenapa?" tanya Gisha ketika Angkasa hanya mendengus saja sebagai tanggapan.
Angkasa memperhatikan Gisha yang hendak mengambil cangkir untuk minum dengan tangannya yang belepotan bumbu balado dari keripik kentang yang sedang ia makan dan bergidik jijik. "Ih." Katanya meraih kotak tisu dan mengambil beberapa lembar isinya.
"Apa?" tanya Gisha menghentikan gerakannya dan menarik kembali tangannya sebelum mengambil cangkir putih di meja dapur.
Bukannya menjawab, Angkasa menarik pergelangan tangan Gisha dan mengelap satu persatu jari tangan Gisha sampai bersih dari bumbu balado yang sudah melekat di sana. "Jorok." Gumamnya tanpa menatap Gisha karena masih sibuk membersihkan jemari perempuan itu.
Sementara Gisha, setelah mengerjap tak percaya, dia menganga di tempatnya.
Selesai dengan kelima jari tangan kanan Gisha, tisu putih yang kini berwarna kemerahan yang ada dalam genggaman Angkasa ia buang di tong sampah. Lelaki itu menepuk-nepuk tangannya dan berjalan keluar dari dapur.
Dia lalu berhenti dan berbalik. "Abis mandi gue mau cari makan. Lo mau ik—"
"Ikut!" jawab Gisha semangat seraya langsung berlari keluar dari dapur, hendak menuju kamarnya untuk membereskan penampilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...