MINGGU ketiga Gisha di SMA barunya sejauh ini berjalan lancar bila diminus kejadian dia dipanggil Pak Wira hari senin lalu. Tidak ada yang berubah, Angkasa masih tetap Angkasa yang dingin dan selalu menghindarinya seolah dia adalah virus yang harus dijauhi. Gisha selalu berpikir sepertinya butuh waktu yang sangat lama bagi mereka untuk bisa akrab.
Tapi sejak kejadian dia dipanggil Pak Wira, Gisha selalu merasa ada mata yang memerhatikannya. Mungkin terdengar berlebihan, tapi dia memang selalu merasa seperti itu. Seolah ada seseorang yang selalu mengikutinya dan tiba-tiba menghilang ketika dia menengok ke belakang. Tapi dia tidak terlalu menggubris hal itu dan selalu berpikir kalau itu mungkin hanya perasaannya saja.
Bukan hanya itu, ada lagi satu hal aneh semenjak hari senin kemarin, entah kenapa Dewa yang kelasnya terbilang jauh dari kelas Gisha, selalu mendatangi Angkasa setiap jam istirahat. Sebenarnya itu bukan hal aneh melihat kenyataan kalau Dewa merupakan sahabat dekat Angkasa, masalahnya, Dewa selalu melihat ke arahnya sambil duduk di meja Angkasa. Itu tidak mungkin hanya imajinasi Gisha karena hal itu bukan hanya terjadi sekali, tapi setiap dia datang ke sini. Dan jujur saja, Gisha kadang merasa sedikit risih ketika mata Dewa menatapnya walaupun mulutnya sedang bercengkerama dengan Angkasa.
Tapi, sekali lagi, si cuek Gisha tidak mau ambil pusing.
Bel pulang berbunyi tidak sesore biasanya di hari Jumat, dan Gisha sudah menunggu Angkasa di perempatan jalan tempat lelaki itu akan menghentikan mobilnya. Tapi tidak hari ini, tidak seperti biasanya, Angkasa membawa motor besarnya karena mobil miliknya sedang dipakai oleh mamanya.
Gisha tertawa melihat postingan teman-teman lamanya di salah satu sosial media saat sebuah ninja berwarna putih berhenti tepat di hadapannya.
Si pengendara mengangkat kaca helmetnya dan menatap Gisha. "Gue mau ke toko buku dulu. Ikut atau pulang sendiri?"
"Ikut." Jawab Gisha cepat yang langsung dibalas oleh dengusan Angkasa, "Gue nggak suka naik angkutan umum." Lanjutnya.
"Dasar manja." Ujar Angkasa, "Ya udah, naik."
Gisha tersenyum lega seraya naik di jok belakang motor Angkasa.
Sebenarnya, bukan hanya tidak suka. Gisha takut naik angkutan umum. Dan, jangan salah, dia punya alasan kenapa dirinya seperti itu.
***
"Sa, basah." Teriak Gisha di belakang Angkasa ketika hujan mulai turun saat mereka dalam perjalanan pulang dari toko buku.
"Tanggung, bentar lagi nyampe." Jawab Angkasa.
"Tapi, gue suka sa—"
"Berisik ampun, ujannya nggak gede banget kok." Potong Angkasa.
Gisha mendengus sambil memeluk dirinya sendiri di belakang Angkasa, "Iya iya."
Lima menit kemudian, motor Angkasa sudah terparkir di halaman rumahnya dan dua orang itu berlarian masuk ke dalam rumah.
Suara cempreng milik Anggi, Mama Angkasa, langsung menjadi sambutan selamat datang untuk mereka, "Ya ampun, kenapa hujan-hujanan?"
"Kehujanan di jalan, Ma." Angkasa berjalan menuju kamar mandi sementara Gisha masih bingung dengan apa yang harus dia lakukan.
"Gisha?"
Gisha mengerjap, "I— iya, Tante?"
"Kenapa berdiri di situ? Sana langsung ke kamar mandi, nyalain air panasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...