"IYA. Itu Sissy, anak kelas gue. Iya, dia bilang nggak sengaja, kok. Hm? Dia nggak pernah ada masalah juga di kelas sama Gisha. Sama-sama."
Pip.
Panggilan telpon terputus.
Angkasa terdiam di tempatnya. Memandang lurus ke depan tanpa ekspresi.
"What if I fall for you?"
Napas Angkasa terhembus berat ketika dirinya mengingat apa yang Gisha katakan padanya saat mereka mengobrol tengah malam. Saat itu, dia mengantuk luar biasa dan ketiduran, tapi dia tentu tidak sepenuhnya tertidur. Jadi, dia mendengar apa yang Gisha katakan.
Apa maksud perempuan itu sebenarnya?
Mungkinkah Gisha juga merasakan apa ia rasakan?
Lalu, bagaimana dengan Dewa?
Manik mata Angkasa terjatuh pada sebuah foto palaroid di tangannya. Di dalam foto itu, ada Angkasa kecil dan Dewa kecil yang menggunakan seragam merah putih. Angkasa ingat sekali, foto itu diambil di hari pertama mereka masuk Sekolah Dasar.
Iya, dia memang sudah bersama dengan Dewa selama itu.
Dewa yang sejak kecil selalu ada untuknya. Dewa yang pernah menangis meraung-raung bersamanya. Dewa yang selalu menghiburnya jika Langit harus meninggalkannya untuk berangkat sekolah. Dewa yang selalu membuat hari-harinya penuh dengan tawa. Dewa yang tidak jarang mengalah untuknya.
Lalu, kali ini, haruskah dia yang mengalah untuk Dewa dengan mengorbankan perasaannya sendiri?
Jika saja bukan Dewa. Jika saja bukan sahabat terbaiknya. Dan, jika saja ini bukan pertama kalinya dia melihat Dewa sampai seperti itu pada perempuan, dia mungkin akan memperjuangkan perasaannya dan tidak mengalah begitu saja. Tapi, ini benar-benar kali pertama Dewa Bramasta jatuh cinta. Sungguh, itu yang Angkasa lihat.
Rasanya, seperti melihat dirinya beberapa tahun yang lalu ketika dia menaruh hati pada Mauren.
Rasa yang tidak harus memiliki meskipun ingin tetap menjaga.
Angkasa benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
***
Gisha mengedarkan pandangannya pada setiap sudut rumah Om Krisna dari ruang televisi. Tidak menemukan apa yang ia cari, dia menyerah dan kembali fokus pada tayangan di hadapannya. Masih penasaran, dia kembali memandang sekeliling, kali ini, lebih jauh lagi karena sampai melihat ke arah tangga dan ke pintu halaman belakang.
"Kak Gisha cari siapa?"
Suara Bintang terdengar diikuti dengan langkah kaki yang datang mendekat. Bintang menghampirinya kemudian duduk di samping Gisha.
"Angkasa. Kok nggak kelihatan, ya?" tanya Gisha menggaruk kepalanya.
"Mau jogging katanya." Jawab Bintang.
Gisha mengernyit bingung. "Tumben? Kan bukan hari minggu?" Gisha bertanya, kemudian kepalanya melirik jam dinding. "Udah jam sebelas juga. Kok lama banget?"
Bintang mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Nggak tau, deh. Mampir dulu ke lapangan basket kali."
Sebagai jawaban, Gisha hanya ber-ooh ria. Sebenarnya, bukan hanya pagi ini dia tidak melihat Angkasa. Tapi, semenjak pulang dari rumah Aldo kemarin malam, Angkasa jadi menghilang. Bukannya menghilang, sih. Gisha tahu, kok, Angkasa ada. Hanya saja, perempuan itu tidak satu kali pun melihat batang hidung Angkasa padahal mereka satu rumah. Entah Angkasa yang memang menghindar darinya atau memang mereka tidak ditakdirkan untuk bertemu muka, walaupun sekali lagi, mereka tinggal di atap yang sama. Entahlah, Gisha tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...