UNTUK pertama kalinya dalam sejarah hidup seorang Gisha, dia memegang sapu. Meskipun sebenarnya dia tidak melakukannya secara sukarela mengingat itu salah satu tanggung jawab seorang murid tetapi karena sedari tadi Nancy memerhatikannya dengan mata menyipit, yang pasti akhirnya dia memegang sapu dan piket. Di sekolah lamanya, murid memang tidak diharuskan melakukan piket secara rutin karena hal itu sudah dilakukan oleh mereka yang memang bertugas membersihkan. Gisha juga tidak tahu sebelumnya kalau piket itu masih berlaku di Nusantara karena dia selalu langsung melesat keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Tapi tadi pagi, Nancy tiba-tiba mendatanginya dan bilang kalau dia sudah empat kali berturut-turut atau satu bulan tidak melakukan piket kelas.
Duh, mana dia tahu?
Jadi, saat ini, sebagai hukuman, Gisha harus piket sendirian menggantikan empat orang lain yang juga piket di hari yang sama dengannya, hari Jum'at.
Gisha melirik takut-takut ke arah Nancy ketika ponselnya berbunyi dan nama "Angkasa" tertera di layarnya. Lelaki itu memang sudah menunggunya sedari tadi. Dan, jika lama, Gisha yakin dia tidak akan segan-segan meninggalkannya lagi seperti yang terjadi tempo lalu. Tapi, Gisha tidak mengangkat panggilan masuk dari Angkasa dan malah merejectnya sebelum kembali memasukkan benda persegi panjang tipis itu ke dalam sakunya.
Tak berselang lama, ketika Gisha sedang sibuk untuk mengeluarkan debu-debu di lantai kelasnya, ponselnya kembali berbunyi.
Kesal, Gisha dengan cepat mengambilnya dan langsung menempelkan benda itu di telinganya.
"Sabar, ih. Gue belum selesai, Sa. Tunggu bentar lagi, kenapa?"
"..."
"Tunggu. Awas aja lo ninggalin gue lagi."
"Ini Mami, Gi."
Gisha mengerjap lalu menjauhkan ponselnya dan melihat kata "Mami" di sana. Gisha lalu kembali menempelkan benda itu di telinga. "Kenapa, Mi? Tumben nelpon?"
"Loh, kok gitu? Emang Mami nggak boleh nelpon anak Mami? Jadi, cuma Angkasa gitu yang boleh?"
Gisha memutar kedua bola matanya. Maminya ini memang menyebalkan. "Serius, Mami, ih. Itu juga, kaki Mami gimana?"
Terdengar kekehan Maminya sebelum perempuan itu kembali berucap. "Udah sembuh, dong. Makanya Mami nelpon, nih."
"Loh? Hubungan kaki sembuh sama nelpon apa, deh? Kaki Mami sakit juga nelpon mah bisa kali, Mi."
"Kamu tuh, ya. Gini loh, waktu itu Mami sempet minta buat ngadain makan malem bareng, kan sama keluarganya Angkasa? Gimana kalau besok? Mami sama Papi besok udah ngosongin jadwal, nih. Coba kamu tanyain Om Krisna atau Tante Anggi ya, sayang." Jelas Maminya.
Tidak mau panjang lebar mengingat tugas piketnya yang belum selesai, Gisha mengangguk-angguk walaupun Maminya tidak akan melihat. "Iya, nanti Gisha tanyain. Udah, ya, Mi. Gisha sibuk."
"Idih." Maminya tertawa. "Ya udah deh, sana. Bye, sayang."
"Iya, Mi."
Gisha segera memutuskan panggilan ponselnya dan langsung kembali melanjutkan tugasnya. Setelah kurang lebih lima belas menit kemudian, dia baru menyelesaikan tugas piketnya itu. Perempuan itu langsung bergegas mengambil tasnya dan berdoa dalam hati agar Angkasa tidak meninggalkannya lagi.
Nancy yang juga hendak pulang, berjalan bersama Gisha. Gisha mempertajam pandangannya ketika matanya melihat Angkasa yang sedang bersandar pada motornya di parkiran sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...