23. Mendaki di Nusantara

22.7K 1.7K 58
                                    

LIMA hari bertahan dengan gosip sebagai seorang pacar Angkasa Dirgantara, bukan lah hal yang mudah bagi Gisha. Dimulai dari followers sosial medianya yang tiba-tiba membludak, dijadikan bahan gosip di semua kamar mandi di sekolah, mendengar namanya ada dalam setiap bisik-bisik yang ia dengar, dan hal-hal semacam itu. Entah kenapa hal-hal tersebut malah membuat Gisha seperti korban bullying—kecuali bagian di mana followers sosial medianya bertambah– tapi, Gisha lebih senang menyebutnya Diga's Effect. Dia mencuri panggilan sayang Angkasa dari kedua orang tuanya karena Diga's Effect lebih enak didengar dari pada Angkasa's Effect.

Tapi, semakin lama, seperti yang Angkasa katakan, mereka pasti akan lelah sendiri. Seperti hari ini, hari Jum'at. Yang mana artinya sudah empat hari berlalu sejak gosip itu entah kenapa seolah bertransformasi menjadi fakta hanya karena Angkasa dengan polos mengatakan "Emangnya kenapa kalau pacaran?"

Iya, lelaki itu tidak tahu saja bagaimana keadaan batin Gisha setelah satu kalimat berisi empat kata itu terucap. Rasanya Gisha seperti ingin masuk ke dalam black hole atau semacamnya saking malunya. Untung saja, ini Angkasa. Coba kalau lelaki lain yang mengatakan seperti itu, pasti sudah tamat riwayatnya di tangan Gisha.

Sepertinya, ada dua alasan kenapa teman-teman sekelas Gisha tidak lagi mengejeknya sepanjang waktu seperti kemarin-kemarin. Pertama, mereka bosan. Kedua, mereka lebih tertarik dengan pengumuman yang tertera di mading.

Gisha sendiri bingung ketika saat ia dan Angkasa tiba tadi pagi—yang sebelumnya akan langsung diejek mentah-mentah tapi hari ini tidak– teman-temannya sedang berdiri di depan papan mading kelasnya dengan heboh membicarakan sesuatu.

Berbeda dengan Gisha yang penasaran ada apa di sana, Angkasa langsung menuju bangkunya seperti biasa seolah teman-temannya yang menggerombol itu semuanya kasat mata.

Akhirnya, didasari oleh rasa penasaran, Gisha mencoba menyelip beberapa orang di hadapannya dan berdiri di depan mading. Di permukaan mading atau majalah dinding kelasnya yang dibuat dengan bentuk seperti jendela itu ada beberapa artikel tentang hal-hal menarik—yang ini, dari dulu memang sudah ada– dan ada sebuah pengumuman dengan judul "Mendaki di Nusantara" di atas sebuah kertas HVS putih yang kemudian di laminating agar tidak mudah robek dan tibak basah. Rupanya, mereka semua heboh karena hal itu.

Gisha yang merupakan orang baru, sama sekali tidak mengerti tentang apa pengumuman itu, yang pasti di bawah judulnya, tertulis juga waktu, lokasi, contact person guru yang bertanggung jawab untuk acara ini, dan tata cara yang harus dilakukan untuk ikut berpartisipasi—walaupun di bagian bawah, ada tambahan yang mengatakan semua siswa kelas XII harus ikut berpartisipasi.

"Maksudnya apa?" tanya Gisha lebih pada dirinya sendiri.

Seorang lelaki tinggi berkacamata yang kebetulan berdiri di samping Gisha menoleh. Gisha ikut menoleh. Ah, dia tau orang itu. Namanya Hendri, dia pendiam, duduk paling belakang tapi dikenal jujur, karena itu dia diberi tanggung jawab untuk menjabat sebagai bendahara kelas XII IPA 1.

"Acara khusus buat kelas dua belas sebelum ujian semester, rutin dilakuin di Nusantara." Jawabnya.

Gisha mengangguk-anggukan kepalanya, walaupun sebenarnya dia masih belum paham. "Hiking?" tanyanya memastikan.

Hendri mengangguk. "Tapi biasanya yang nggak terlalu tinggi kok, lebih kayak bukit. Kalau kata alumni sih emang gunung yang ada track dan tempat campnya. Biasa jadi tempat hiking pemula gitu. Tiap tahun sekolah kita ke sana." Dia menjelaskan.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang