KARENA tidak mau repot, akhirnya Gisha mengiyakan ajakan Chika untuk satu tenda bersama dengaan dirinya plus Glory dan Nancy. Chika bilang, pasti akan memudahkan mereka jika ada panggilan kelompok untuk berkumpul karena mereka memang satu kelompok. Karena Gisha belum pernah mendirikan tenda sebelumnya, dia benar-benar bingung dengan apa yang harus ia lakukan, jadi ia hanya diam saja. Sementara Nancy, dengan semangat mendirikan tenda dan bahkan berkata pada teman-teman satu kelompoknya agar tidak perlu membantu. Gisha sih tahu kenapa Nancy begitu. Paling-paling dia berharap dilihat guru, siapa tahu diberi nilai tambah. Dan, melihat bagaimana reaksi Chika dan Glory, sepertinya mereka juga memikirkan hal yang sama.
Setelah proses pendirian tenda dan membereskan barang-barang selesai, Pak Anton memberi pengumuman kalau waktu isoma atau istirahat, solat, makan telah tiba. Dan, Gisha tidak kaget ketika Pak Anton berkata kalau makanannya harus dimasak sendiri. Berbeda dengan pendapat Angkasa yang mengatakan kalau konsumsi pasti sudah disiapkan. Tentu saja. Meskipun ini pertama kalinya bagi Gisha, perempuan itu tahu kalau dalam perkemahan, apalagi di pegunungan, para peserta pasti harus memasak sendiri. Memangnya, siapa yang mau menyiapkan? Memangnya ada tempat makan yang mau delivery ke tengah hutan? Yang benar saja.
Gisha hanya tertawa puas dalam hati mendengar hal itu. Tidak sia-sia dia membawa dua tas besar yang salah satunya hanya berisi makanan ringan yang akan ia bawa untuk makan. Intinya, Gisha tidak perlu memikirkan tentang apa yang harus ia lakukan jika perutnya meminta diisi.
Sementara Glory dan Chika kebingungan akan apa yang harus mereka lakukan, Nancy yang sepertinya memang mantan anggota pramuka itu mengeluarkan sebuah panggangan mini dari dalam tasnya.
Glory sih, dari penampilannya saja sudah kelihatan bukan tipe orang yang menyukai kegiatan seperti ini. Chika sendiri, sepertinya bahkan lebih mementingkan keadaan wajahnya dari pada perutnya melihat cermin yang sedari tadi tak lepas dari tangannya.
Tapi, melihat pemanggang itu, Chika seketika antusias seraya langsung berjongkok di samping Nancy. "Nyalain pake apaan, Cy? Perasaan punya nyokap gue harus pake listrik."
Nancy hanya geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Kurang piknik lo. Jaman sekarang udah ada yang pake batre kali. Nih." Katanya menunjukan sebuah batu baterai besar yang juga baru ia keluarkan dari dalam tasnya.
Sementara Chika terlihat terkesima, Gisha malah merasa aneh. Memasak makanan dari benda seperti itu pasti tidak akan bersih. Panas yang dikeluarkan baterai kan pasti tidak akan sama dengan panasnya api. Ah, sekali lagi, Gisha bersyukur karena sepertinya persediaan makannya sudah lebih dari cukup sampai besok.
"Kalian pada bawa apaan? Siniin, gue masak." Ujar Nancy sambil mengeluarkan beberapa sosis dari dalam tasnya.
"Gue bawa mie instan. Emangnya enak dipanggang?" tanya Chika polos. Membuat Gisha mau tak mau terkekeh sementara Glory memutar kedua bola matanya seraya mengambil tasnya untuk mengeluarkan sesuatu.
"Nih." Katanya menyerahkan satu bungkus roti tawar. Ah, bagus juga dia bawa roti.
"Lo, bawa apa, Sha?" tanya Nancy menatap Gisha.
"Gue bawa cemilan doang. Nggak biasa makan makanan gitu." Jawabnya jujur yang langsung dibalas oleh tatapan tidak suka Glory.
"Sok steril, lo." Katanya.
Gisha sendiri hanya mengangkat bahu tidak peduli karena yang dia katakan memang benar adanya.
Sekitar pukul empat sore, para siswa kembali dikumpulkan lagi di tengah tempat perkemahan. Berbeda dengan sebelumnya yang mengharuskan mereka berkumpul sesuai kelas masing-masing, kali ini mereka dikumpulkan berdasarkan kelompok masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...