halooo, maaf ya sempet hilang huhuhu
sekarang kita lanjut yaa
selamat membacaaaa!
***
IRIS hitam pekat milik Gisha memandang lurus ke depan, tepat pada ring basket di lapangan kompleks Green-Town. Tetapi sebenarnya, dia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia lihat karena dia bukan sedang memperhatikan sesuatu, Gisha sedang melamun. Ralat, Gisha sedang berpikir. Berpikir keras.
Iya, perempuan yang kini tengah duduk di salah satu anak tangga yang mengelilingi lapangan basket itu, tengah berpikir. Ditemani oleh udara sore yang menyejukkan dan langit yang sebentar lagi akan berubah warna menjadi oranye. Gisha memang tidak pulang bersama Angkasa. Duh, dia kan sudah bilang kalau dia tidak akan berangkat atau pulang bersama Angkasa lagi, jadi, begitu bel pulang berbunyi Gisha dengan cepat meraih tasnya dan keluar kelas lalu berjalan kaki sampai ke tempat itu. Bukannya langsung pulang ke rumah, dia malah melamun dulu di sana. Ralat, bukan melamun, tapi berpikir.
Dia sedang mencari benang merah antara dirinya, Glory, dan perubahan sikap Angkasa yang sangat drastis terhadapnya.
Dan, hal yang saat ini ia sudah tahu adalah, kemungkinan besar berubahnya Angkasa adalah karena Glory. Ketua cheers itu mungkin mengatakan atau melakukan sesuatu pada Angkasa sampai lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat begitu saja.
Tapi, perbuatan atau perkataan macam apa yang bisa membuat Angkasa sampai berubah begini pada Gisha?
Ucapan-ucapan Glory tiba-tiba terbesit di benak Gisha begitu saja.
"Lo tenang aja. Gue nggak bakal jadi tokoh antagonis kayak di cerita-cerita yang bikin lo nantinya dikucilin atau apa. Walaupun gue emang punya kemampuan buat itu. Tapi, gue nggak serendah dan semainstream itu. Jadi, lo jawab aja."
"Ya udah deh, kalau gitu. Berarti gue nggak perlu mikir macem-macem. Makasih udah mau ngomong sama gue."
"Gue pikir lo deket sama dia karena dia satu-satunya orang yang lo tau di Bandung. Gue pikir dia emang cuma anak dari temen bokap nyokap lo."
"Gue pikir lo orangnya jujur. Ternyata sama aja. Omongan sama kenyataan beda, ya?"
"Karena lo nggak nepatin omongan lo, kayaknya gue juga nggak bisa ngelakuin hal yang sama."
Seingat Gisha, hanya itu. Ucapan terakhir Glory ketika sedang kemping memang mencurigakan. Dia seperti memberi kode pada Gisha agar dirinya segera bersiap-siap karena Glory akan melakukan sesuatu. Seperti menyuruh Gisha untuk berancang-ancang. Dan benar saja, lihat apa yang telah Glory lakukan saat ini.
Dan, ada juga obrolan pertamanya dengan Glory. Saat itu, Glory terlihat seperti perempuan baik-baik walau wajah sombongnya tetap tidak bisa lepas dari pembawaannya. Ya, wajar saja Glory baik begitu, saat itu kan belum ada gosip tentang Gisha dan Angkasa yang berpacaran.
Tapi, berbicara tentang mengobrol, kapan Glory punya waktu untuk mengobrol dengan Angkasa dan membuatnya berubah?
Kita kembali pada kejadian Gisha mengambil ponselnya di sekolah malam itu. Kurang lebih seperti ini kronologisnya; Gisha berangkat bersama Angkasa, Gisha mengambil ponselnya, Gisha bertemu Dewa, dia mengirim pesan pada Angkasa, Gisha diam di lapangan selama sekitar dua puluh menit, dia hendak pulang dengan Dewa, ternyata masih ada Angkasa di parkiran, mereka pulang bersama, malamnya Angkasa sama sekali tidak keluar rumah lagi, dan besoknya, Angkasa sudah menunjukkan tanda-tanda dia berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...