15. Bolos

21.8K 1.9K 45
                                    

SELAMA perjalanan menuju sekolah pasca dua hari tidak masuk karena masalah Maminya, bibir Gisha seolah tidak bisa berhenti mengomel. Pasalnya, hari itu Angkasa meninggalkannya. Iya, lelaki itu pergi ke sekolah terlebih dahulu. Ini karena dirinya yang bangun kesiangan. Hal itu terjadi karena tadi malam, dia menonton live streaming salah satu acara awards musik yang paling terkenal di Amerika, dan Gisha tidak pernah melewatkan acara itu setiap tahunnya sejak ia masuk SMP.

Dia hanya bangun setengah jam lebih siang. Yang mana artinya, mereka masih bisa sampai sekolah tanpa terlambat. Tapi, Angkasa si Mr. On Time itu malah meninggalkannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Gisha sendiri tidak pernah memiliki keberanian untuk naik angkutan umum karena ada begitu banyak pikiran-pikiran buruk dalam benaknya yang bisa terjadi di dalam angkutan umum. Karena itu, Gisha jadi berjalan kaki sampai sekolahnya. Letaknya memang tidak terlalu jauh jika ia naik motor dengan Angkasa, tapi jika hanya dengan beralaskan kaki, ternyata sekolahnya terasa seperti ada di ujung dunia.

Karena hal itu lah Gisha tidak berhenti mengomel. Terus saja mengutuk Angkasa dalam setiap kalimat yang ia ucapkan pada dirinya sendiri.

Gisha mendengus agak keras ketika matanya selesai melirik jam tangannya dengan jarum pendek yang sudah berada hampir berada di antara angka tujuh dan delapan. Dengusannya bertambah ketika dia melihat ke depan dan menyadari kalau letak sekolahnya masih sekitar lima ratus meter dari tempatnya berdiri. Perempuan itu mengubah ritme berjalannya menjadi setengah berlari. Iya, setengah berlari. Ia tidak bisa lebih dari itu. Terkena debu jalanan sampai wajahnya terlihat kumal saja sudah cukup. Tidak boleh ditambah keringat yang mungkin akan membasahi wajah dan badannya jika ia berlari.

Kaki Gisha perlahan berhenti karena perempuan itu merasa perlu menstabilkan deru nafasnya terlebih dahulu. Gisha tidak suka olahraga, ingat? Setengah berlari satu per empat kilo saja dia sudah terengah. Kakinya kembali melangkah, tapi langkah yang ia ambil lambat. Dan semakin melambat ketika matanya menangkap seseorang yang ia kenal sedang duduk di kursi halte bus yang terletak di persimpangan menuju sekolah. Bahkan dari jauh ia bisa melihat kalau orang itu melamun. Sambil bersandar di kursi, matanya menatap kosong ke arah langit. Membuat Gisha merasa terusik dan mau tak mau menghampirinya juga.

Setelah menyebrang, Gisha duduk di samping orang itu tanpa mengatakan apa-apa.

"Lagi ngapain?" tanya Gisha tanpa menatap orang itu.

Seolah baru menyadari adanya kehidupan lain di sekitarnya, Dewa terperanjat. Kepalanya menoleh ke arah Gisha dan dia melihat sekeliling seolah sedang membaca situasi. Jelas sekali kalau dia sedang bingung.

Tidak membuka mulutnya, Dewa ternyata hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.

Gisha berdiri. "Ayo, ke sekolah."

Dewa mengambil ponselnya untuk melihat jam dan nafasnya terhembus agak keras. "Udah telat, Gisha."

Gisha ikut memeriksa jam tangannya dan dia menganga. Dewa benar. Bel masuk SMA Nusantara sudah berbunyi kurang lebih tujuh menit yang lalu. Dan Gisha tahu kalau sekolah yang menjunjung tinggi kedisiplinan itu tidak akan segan-segan menghukum siswanya yang terlambat barang satu menit saja.

Apalagi tujuh menit?

Gisha memerhatikan sekelilingnya agak panik dengan kaki yang tidak bisa diam.

"Mau nemenin gue, nggak?" suara Dewa membuat Gisha berhenti bergerak tidak jelas.

Alis perempuan itu terangkat. "Kemana?"

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang