ANGKASA melangkahkan kakinya memasuki salah satu restoran Italia yang berada di pusat Kota Bandung. lelaki itu memang telah membuat janji dengan seseorang untuk bertemu di sana. Janji dengan seseorang yang penting. Lelaki yang menggunakan atasan kemeja warna navy blue polos itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan restoran yang memiliki bentuk bangunan seperti bangunan-bangunan Eropa modern itu. Jangan salah, restoran tersebut juga didekorasi dengan sangat apik, yang membuat siapapun mungkin akan lupa kalau mereka sedang berada di Bandung jika ada di dalam restoran elit yang berbintang itu.
Mata Angkasa menangkap satu sosok yang tengah duduk dengan pakaian rapi di salah satu sisi restoran. Dengan ditemani segelas air putih—karena kelihatannya dia belum memesan apapun– orang itu memandang kosong pada kursi yang juga masih kosong di hadapannya.
Angkasa berdeham pelan, tangannya merapikan baju yang ia pakai sekilas, kemudian ia melangkahkan kakinya dengan penuh keyakinan untuk menghampiri orang tersebut. Menghampiri Langit. Kakaknya.
Iya, Angkasa memang memiliki janji untuk bertemu dengan Langit. Atau, lebih tepatnya, Langit yang meminta Angkasa untuk bertemu. Tapi, sebenarnya, walaupun tidak seperti itu, Angkasa pasti juga akan menghubungi Langit terlebih dahulu dan membuat janji temu. Karena, bagaimana pun juga, saat ini mereka memiliki suatu masalah yang hanya bisa diselesaikan jika mereka bertemu muka.
"Kak." Sapa Angkasa begitu dia sudah sampai di hadapan langit.
Kakaknya mengangkat kepala. Dan, mata mereka bertemu. Angkasa meringis dalam hati. Ada apa dengan Langit? Angkasa tahu betul kalau Langit adalah orang terapi yang dia kenal. Tapi, saat ini, Langit terlihat ..berantakan. Dengan rambut yang kelihatannya hanya dirapikan oleh jari-jari, rambut halus di sekitar rahangnya yang belum ia cukur, wajahnya yang terlihat pucat, dan, yah, sangat berbeda dengan Langit yang terakhir ia temui ketika makan malam keluarga beberapa waktu yang lalu.
Angkasa duduk di hadapan Langit. Dia belum mengatakan apa-apa. Dia akan membiarkan Langit yang terlebih dahulu membuka percakapan nantinya. Yang pasti, melihat keadaan Langit yang sepertinya sangat kacau sekarang, Mauren pasti lah sangat berarti bagi lelaki itu. Mungkin, sama berartinya dengan Mauren dulu di mata Angkasa.
"Diga." Kata Langit tanpa menatap adiknya.
Ah, memang, selain kedua orang tuanya, Langit juga memanggil Angkasa dengan nama kecilnya. Karena, dulu, mereka sangat dekat. Angkasa sudah seperti prangko di mana Langit adalah amplopnya. Dia selalu mengikuti Langit kemana pun, menempel padanya kapan pun, merengek pada Langit, meminta ini dan itu. Karena itu, baik dulu maupun saat ini, Langit adalah salah satu orang yang paling berharga bagi Angkasa.
Angkasa menghembuskan nafasnya perlahan. Dari nada yang Langit gunakan saja, Angkasa sudah tahu betul kalau Langit sudah meminta penjelasan. "Iya, Kak. Kita emang sempet pacaran dulu. Pas di SMA. Tapi, pas Mauren lulus," Angkasa berdeham pelan sebelum melanjutkan, "kita udah putus, kok." Katanya. Berbohong, tentu saja. Langit jelas tidak boleh tahu tentang Mauren yang sebenarnya selingkuh. Tidak boleh. Sampai kapan pun.
Kali ini, helaan nafas Langit yang terdengar. Lelaki itu menatap adiknya dengan frustasi, dan tentunya, Angkasa bisa dengan jelas melihat raut merasa bersalah di wajahnya. "Kamu kenapa nggak bilang sama Kakak, Ga?"
Angkasa terkekeh pelan. "Karena Diga tau kakak bakal kayak gini kalau Diga bilang."
Langit mendesah. Lelaki itu mengalihkan pandangannya dari Angkasa.
"Kak, Diga udah baik-baik aja sekarang." Katanya sungguh-sungguh. "Kalau dulu, jujur, Diga emang sempet kaget. Banget. Tapi, ketika tau kalau dia sama Kakak, Diga lega, Kak. Diga tau Kakak kayak gimana. Dan, Diga tau kalau orang sebaik Kakak, pasti bisa jadi orang yang terbaik buat dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...