TELUNJUK kurus milik Gisha yang sedari tadi ia letakkan pada rongga antara gigi atas dan bawahnya itu kini ia turunkan karena perempuan itu hendak berkacak pinggang. Kakinya yang sedari tadi tidak berhenti mondar-mandir di kediaman Om Krisna itu akhirnya merasa pegal.
Gisha memilih berhenti.
Perempuan itu berjalan ke arah sofa dan menghempaskan bokongnya pada kursi empuk nan nyaman tersebut.
Angkasa yang sedari tadi memerhatikannya mendekat. Duduk di pegangan sofa dengan kedua tangan tersilang di depan dada. "Mondar-mandir mulu, lo. Kayak setrikaan."
Gisha mendengus lalu menatap Angkasa sedih. "Hp gue ilang, Sa."
Angkasa mengerjap. "Ilang gimana?"
Lagi, Gisha mendengus. "Ya, ilang, ih. Nggak ada hpnya." Gisha berkata dengan nada kesal.
"Terus? Udah dicari?"
"Ya lo pikir gue dari tadi mondar-mandir ngapain? Nyetrika ubin?" Perempuan itu memanyunkan bibirnya, kesal karena Angkasa menanyakan hal yang sama sekali tidak membantu.
"Serius udah cari seisi rumah? Udah coba ditelpon?"
Gisha mengerjap. Benar. Dia belum mencoba menelpon ponselnya. Perempuan itu tertawa malu lalu menggeleng. Membuat Angkasa yang kali ini mendengus sebal. "Otaknya dipake makanya." Katanya seraya mengeluarkan ponsel miliknya sendiri dalam saku dan melakukan panggilan.
"Nyambung?" tanya Gisha mendekat. Sungguh, dia penasaran. Sebenarnya, bagi seorang Gishara Aluna, seharusnya kehilangan ponsel dan harus membeli ponsel yang baru itu bukan lah hal yang besar. Uang tabungannya bahkan masih lebih dari cukup untuk membeli ponsel canggih keluaran terbaru. Hanya saja, banyak sekali hal-hal penting yang ada di ponsel lamanya dan belum sempat ia back up. Salah satunya, foto dan video ketika dia pergi ke Bali bersama Kaila saat liburan tahun baru beberapa bulan yang lalu. Kaila juga belum memilikinya. Yah, mungkin terdengar tidak penting, tapi Gisha sangat menyukai foto. Karena bahkan jika keadaan berubah, orang-orang berubah, di dalam potret mereka tetap sama. Ya, Gisha menyukainya.
Angkasa mengangguk tak lama kemudian, membuat Gisha langsung menatapnya penasaran.
"Diangkat." Ujar Angkasa pelan ketika nada sambung di ponselnya berhenti berbunyi. Lelaki itu segera mengaktifkan loud speaker ponselnya sebelum berkata, "Halo?"
"Iya, halo?" tanya suara di ujung sana.
"Maaf, ini siapa, ya? Ini nomor temen saya, handphonenya ilang." Kata Angkasa tanpa basa-basi. Gisha mengangguk-anggukan kepalanya sambil menyimak.
"Alhamdulillah. Ini Pak Omar, penjaga malem di sekolah. Ini yang ilang murid SMA Nusantara, kan?"
"Oh, iya, Pak betul." Jawab Angkasa langsung. Gisha sendiri, sudah terlihat sangat lega karena ternyata ponselnya bukan hilang, tapi tertinggal di sekolah.
"Tadi Bapak nemuin handphonenya ada di meja kelas 3. Bapak bingung harus Bapak apain ini. Eh, ada yang nelpon. Terus, mau gimana, Dek?" tanya Pak Omar—yang sebenarnya Gisha sendiri tidak tahu orangnya seperti apa– setelah menjelaskan.
"Ambil sekarang, Sa." Bisik Gisha pada Angkasa.
Angkasa menggeleng pelan sebelum kembali berbicara. "Bisa kita ambil besok, Pak?"
Ada jeda beberapa detik sebelum Pak Omar kembali menjawab. "Waduh, kalau besok, Bapak nggak tau harus simpen handphonenya di mana. Soalnya Bapak harus pulang. Besok yang jaga bukan Bapak, gantian sama Pak Budi. Bapak jaga lagi lusa. Mau ambil ke rumah Bapak besok atau lusa aja?" jelas lelaki yang kedengarannya belum terlalu tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di Kota Bandung
Teen FictionPEMBERITAHUAN: Cerita ini sedang di republish dan dalam upaya penulisan sekuel. [Seri Kota Kenangan: 1] Karena tidak lulus SMA, Gishara Aluna yang nakalnya keterlaluan dikirim Papinya untuk kembali mengulang satu tahun SMAnya, di Bandung. Di rumah k...