35. Belajar Bareng

18K 1.7K 76
                                    

DENGAN kedua tangan di atas kemudi, Angkasa melirik Gisha yang tengah tertidur sambil duduk di sampingnya. Kepalanya bersandar pada kaca mobil dan nafasnya teratur. Pasti perempuan itu kelelahan karena hampir seharian menangis.

            Sambil memandang jalanan yang tidak terlalu ramai di hadapannya, kejadian ketika di makam Karin tiba-tiba kembali terbesit di benak Angkasa.

            Gisha terdiam salama beberapa saat. Sampai, tangannya terulur untuk menyimpan buket bunga yang ia bawa di dekat batu nisan Karin, sahabatnya.

            "Rin, bunganya Angkasa yang beli. Tapi, Pak Habibie-nya elo tetep gue, kok. Jangan salah paham, ya." Katanya seraya tertawa samar.

            "Sini, Sa." Gisha menyuruh Angkasa yang tadinya sedang berdiri untuk berjongkok di sampingnya. Angkasa menurut.

            "Rin, ini Angkasa. Lo pasti nggak kenal. Bakal panjang banget kalau gue ceritain sekarang. Iya, ini salah gue yang nggak bisa nepatin janji buat datengin lo tiga kali sehari kayak minum obat." Dia kembali tertawa, tapi kali ini, satu tetes buliran bening terjatuh dari sudut matanya. Dan, perempuan itu dengan cepat menghapusnya.

            "Dia yang bawa gue ke sini, Rin." Sudut bibir Gisha terangkat. "Lo pasti udah lama banget nungguin gue, ya? Gue bego, ya? Gue takut, Rin. Gue takut lo benci sama gue. Padahal, lo cewek paling baik yang gue kenal. Dan, kayak yang lo bilang, gue ini satu-satunya sahabat lo, jadi, mana bisa lo benci sama gue? Iya, kan? Bu Ainun aja nggak bakal pernah benci sama Pak Habibie, kok." Tangannya mengusap pusara Karin pelan.

            "Gue jadi inget, kalau gue yang dulu ketemu Angkasa, gue pasti udah cinta mati sama dia." Dia tertawa. "Abis, ini anak pinter banget, Rin. Lo kan tau, tipe cowok gue itu pinter, pinter, dan pinter. Tapi, biasanya lo komplain, kalau yang pinter sama yang pinter lagi, nanti yang oon kayak lo keabisan." Lagi, dia tertawa.

            "Tapi, sekarang gue kayaknya lebih oon dari lo, deh. Tebak kenapa? Gue nggak lulus SMA. Percaya nggak? Gue, yang nilai UN SMPnya sembilan koma semua, nggak lulus SMA." Gisha kembali tertawa, menertawakan dirinya sendiri. "Kalau lo masih ada, lo pasti marahin gue abis-abisan. Lo pasti bakal sama marahnya ama bokap nyokap gue. Gue kangen omelan lo, Rin." Sekali lagi, ada buliran bening yang terjatuh.

            "Rin, lo maafin gue, kan? Lo masih nganggep gue sahabat lo, kan? Gue harap, iya." Katanya seraya menghela nafas. "Tapi, kalau ternyata lo benci sama gue, kali ini gue nggak akan sembunyi lagi. Gue bakal terus dateng ke sini sampe lo bosen lihat muka gue. Gue bakal cerita tentang kehidupan gue sampe lo gedek sendiri denger suara gue. Gue janji."

            "Tapi, gue lagi di Bandung sekarang. Jadi, gue nggak bisa ke sini tiga kali sehari apalagi mindahin makam lo ke sana." Gisha tertawa samar. "Tapi, kalau gue udah lulus di sana dan bisa balik ke Jakarta, gue janji bakal ke sini terus sampe lo bosen, Rin."

            "Rin." Gisha terdiam, memberi jeda. "Gue sayang sama lo."

            Perempuan itu tersenyum dan menoleh pada Angkasa. "Lo mau ngomong? Sekarang, dia udah kenal sama lo."

            Angkasa memandang batu nisan Karin dan terdiam sejenak. "Karina Amelia, gue pengen ketemu sama Gisha yang dulu. Lo bisa bantu gue, kan?"

            Angkasa menghembuskan nafasnya dan kembali melirik Gisha yang masih terlelap. "Lo bilang lo tau gue nggak suka lihat cewek nangis. Tapi, lo malah tetep nangis." Katanya bicara sendiri. "Karena gue baik, hari ini pengecualian. Tapi, kalau nanti gue lihat lo nangis lagi, gue nggak bakal diem aja."

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang