"Siapa yang nggak masuk?"
"Aga, pak."
Guru berkacamata tebal itu mendengus mendengan nama itu lagi. Matanya menelusuri penjuru kelas. Mencari-cari semoga yang dikatakan siswi disebelahnya yang menjabat sebagai sekretaris itu hanya ucapan yang keliru saja.
"Razita mana?"
Gadis yang menjabat sebagai sekretaris itu menunjuk ujung kelas. Dimana Razita atau Rara biasa duduk. Guru itu melihat Rara yang tertidur dengan kepala yang menempel dimeja. Berulang kali banyak guru yang menegur 'kebiasaan' Rara yang suka tertidur dikelas. Bahkan mereka tidak berani menegur Rara, bagaimanapun otak gadis itu encer.
"Bangunkan dia."
Perempuan berambut panjang yang duduk didepan Rara menepuk pelan pundaknya. Berharap gadis itu segera terbangun dari tidur disiang bolongnya. Setelah tiga kali tepukan, Rara terbangun. Dia langsung segera duduk tegak dan matanya menyipit menetralisir cahaya yang masuk. Matanya langsung tertuju kearah papan tulis dimana masih kosong. Sedetik kemudian dia menangkap seorang guru yang melihatnya dari mejanya. Rara tersenyum dan menganggukan kepalanya sebentar lalu segera mengeluarkan buku paket yang sudah ia letakan dikolong meja.
"Rara, kamu tau Darga kemana?" Rara mengerenyit heran. Kenapa dia selalu dihubungkan dengan laki-laki yang tiap hari harus ia seret pulang?
"Ngga tau, Pak. Terakhir saya liat dia lari-lari dilorong seperti biasa tadi pagi." Guru itu mengangguk maklum.
Rara mendesah frustasi. Darga atau Aga. Laki-laki itu merupakan temannya saat kecil. Dulu, rumah mereka bersebelahan. Namun ketika keduanya menginjak di bangku SMP, Aga pindah rumah. Rara dan keluarganya belum pernah mengunjungi rumah Aga yang baru. Keluarga Aga yang tidak harmonis membuat Aga memilih untuk tinggal dengan Ibunda-nya. Sedangkan Ayah Aga sudah pindah keluar negeri.
"Bisa kamu kasih tahu ke dia, pulang sekolah Bapak tunggu diruang guru. Paksa dia kalo bisa." Rara mengangguk mengerti. Terkadang Rara berpikir, mengapa hidupnya sellau saja disangkut pautkan dengan laki-laki yang terkenal berandalan itu. Rara tidak habis piker dengan sikap Aga. Aga akan bersikap keren dan berkarisma dihadapan murid lain. Jika Aga berhadapan dengannya, Aga teman masa kecilnya muncul. Teman yang selalu menjahilinya dan selalu meledeknya dengan kata-kata yang memang terkesan menyudutkan.
"Baiklah kita mulai pembelajaran hari ini."
Setelah beberapa saat guru itu memberi tugas, Rara segera mengeluarkan ponselnya. Mencari nama orang yang siap ia seret paksa sepulang sekolah nanti.
To: Aga Gila
'Lu dimana? Pak Sultan nanyain elo ke gue.'
From: Aga Gila
'Warnet.'
Rara mendengus. Dengusannya menarik perhatian gadis berkuncir satu dihadapannya. Gadis itu mengundurkan kepalanya dan berbisik kepada Rara.
"Si Aga kok gak masuk lagi?"
Rara mendengarnya dan hanya mendengus saja sembari tangan kanannya meraih pulpen. "Warnet." Dengan tangan kanannya, Rara mulai mencatat tulisan dipapan tulis. Kacamaa yang setia bertengger dihidungnya yang mancung itu beberapa kali ia benarkan letak posisinya. Berharap hari ini segera berakhir, sehingga ia bisa bersantai ria dikamarnya. Menikmati tarikan gravitasi yang sangat kuat antara Rara dan Kasur.
###
"Aga?" Perempuan penjaga warnet itu menatap Rara dengan tampang menyelidik. "Gue Rara. Disuruh Darga kesini tadi." Masih dengan pandangan yang tidak luput dari menilai Rara, perempuan itu meringsut melihat ke arah layar komputernya.
"Komputer 12."
Gadis yang masih menggunakan seragam SMA itu segera bergegas kebilik computer nomor duabelas. Matanya menelusuri meja yang menyangga computer yang sedang menampilkan game online. Dilihatnya laki-laki berperawakan tinggi dan kurus itu sedang serius menatap layar. Menyumpal kedua telinganya dengan headphone. Rara tidak habis pikir dengan makhluk dihadapannya ini. Kesukaannya adalah bolos.
Sambil menghentakan kakinya, Rara mendekati laki-laki itu dan melepaskan headphone-nya dengan paksa. Menariknya hingga membuat ujung colokan headphone itu terlepas dari CPU komputer.
"NGAPAIN SIH LO?!" Gertakan amarah laki-laki itu mampu membuatnya memutar kursinya dan melihat perempuan itu dengan jelas. Kini posisi mereka berhadapan dengan tangan Rara yang masih bersidekap. Mata Rara melotot nyalang membuat Aga berdecih.
"Nanti. Lima menit lagi."
Aga hendak memutar kembali kursinya, namun gerakannya ditahan oleh Rara yang kini menatapnya dengan tatapan tajam. Seolah merasa sedang atau terpaksa dia haru menuruti, akhirnya Aga menatap Rara dengan tatapan datarnya.
"Lima menit elo itu sama aja satu jam!" Bentak Rara marah sambil mencengkram kedua bahu Aga yang terbungkus seragam putih. Aga hanya meringis sedikit saja. Rara yang melihat ekspresi (terlalu) tenang Aga menjadi naik pitam. Terpaksa dia harus melakukannya lagi. Menyeret Aga.
"Gue tau lo bakal seret gue lagi, tapi please Ra, lima menit lagi atau lo duduk dipangkuan gue?" Mendengarnya Rara segera melepaskan cengkraman tangannya dan menatap Aga ngeri. Rara berjalan mundur sebanyak dua langkah membuat Aga tersenyum miring. Merasa ia telah unggul, Aga membalikan lagi tubuhnya. Membelakangi Rara yang sedang menetralisirkan degupan jantungnya yang cepatnya gila-gilaan. Dan Aga tidak tahu itu.
"Lima menit lagi ya, Tuan Darga."
"Iya sayang."
Rara benar-benar harus mengikuti senam jantung. Berada di dekat seorang Aga merupakan hal yang sangat tidak baik bagi jantungnya. Namun harus Rara akui, dia senang Aga berkata demikian. Sama saja seperti Aga peduli dengannya. Sebagai teman. Ya, sebagai teman.
Setelah menunggu Aga kurang lebih tujuh menit lewat sepuluh detik, akhirnya Rara mampu bernafas lega melihat Aga sudah log out. Dia segera memasukkan ponselnya kedalam tas berwarna biru dongker miliknya. Aga bangun dari tempat duduknya, mengambil tas berwarna hitam pekat dibawah meja. Setelah menyeruput habis cola, Aga segera berbalik. Meninggalkan Rara begitu saja yang sudah menunggunya daritadi.
Dalam hati Rara menyumpah serapahi sifat Aga yang sangat cuek. Rara terus mengikuti langkah Aga hingga mereka sampai ditempat meja operator. Alias perempuan yang menilai Rara tidak biasa itu.
Aga mengeluarkan uang sebesar lima puluh ribu dan segera pergi setelah memberikan senyum mautnya kepada penjaga warnet yang baru itu.
"Ga, dia baru?"
"Iya."
"Oh pantes, jutek gitu liatin gue."
Warnet itu memang langganan Aga dari zaman SMP. Membuatnya menjadi pelanggan VIP yang selalu didahulukan di warnet itu. Bahkan pemilik warnet itu kenal Aga dan Rara.
Akhirnya, setelah keluar dari warnet, Aga menghampiri motor matic yang belakangan ini selalu ia bawa kesekolah. Berhubung si JeLo _mobil Aga_ lagi dibengkel, mau tidak mau Aga harus membawa motor kesekolah.
Tanpa berkata-kata, Aga segera mengeluarkan helm hitam dari bawah jok motor. Menyerahkannya kepada Rara yang diam saja. Bersyukurlah Rara memiliki tukang antar-jemput tiap hari dia sekolah. Tadi dia menaiki angkutan umum untuk menghampiri warnet favorit Tuan Darga.
Dikerjain mulu gue!!!!!!
###
Hay..
Ini ceritaku yang lain ya... Vommentnya ^^ Makasih ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA [Completed✔]
Teen Fiction"Akankah bunga itu berubah menjadi merah?" Kehidupan Razita selalu dipenuhi dengan Darga. Cowok yang tadinya tingginya lebih pendek dari Razita. Nama panggilan Razita dari Darga adalah Rara. Dan nama panggilan Darga dari Razita adalah Aga. J...