"Nebeng."
"Nggak."
"Nebeng, ih!"
"Nggak Darga! Nanti juga kan lu mau balik bareng Wendy? Kenapa gak mau bawa mobil lo?" Kata Sean mengerenyitkan dahinya. Lalu Sean melihat pakaian seragam yang dipakai oleh Aga. Seragam itu terlihat kekecilan di badan Aga. Maklum itu baju Sean yang salah ukuran dulu.
"Gue maunya Wendy ngeliat gue pake motor. Bukan pake mobil."
"Banyak omong. Ew."
"Kok lu mirip Nyonya Ang sih? Wah gawat, lu harus diperiksa. Kayanya virus dia udah nyerang ke elo."
"Amit-amit."
Aga memukul pelan pundak Sean.
"Buat hari ini aja. Ya?"
Sean sudah malas berdebat. Apalagi jam ditangannya sudah menunjukan pukul enam lewat lima belas. Belum lagi jalanan yang pasti bakalan macet pagi-pagi begini. Akhirnya, Sean mengangguk setuju. Aga disebelahnya bersorak riang.
"Gue beliin coklat satu."
Dan Sean hanya menatap datar Aga.
###
"Persiapan udah berapa persen, Boy?" Kata Rara. Boy melirik kearah Rara sambil mengedikkan bahunya. "Tujuh puluh, mungkin?"
"Wih.."
"Cuma yang gue khawatirin bukan persiapan acara. Tapi performa anak basket kita." Boy menghembuskan nafasnya dengan kasar. Rara yang berjalan disampingnya mendengarnya. Mereka hendak menuju ruang guru saat ini. Bermaksud untuk membagikan nilah ulangan harian tempo hari untuk kelas mereka masing-masing.
"Loh? Emang kenapa?"
"Dari kemaren si Darga gak fokus. Tuh anak ngancurin formasi terus. Gue juga gak tau dia kenapa begitu. Udah gue marahin tetep aja kaya ngomong sama tembok. Dia ngehubungin lo gak, Ra?"
Rara menggeleng.
Kalian mau tahu yang sebenarnya?
Rara memblokir nomor ponsel Aga diponselnya. Mendengar cerita Boy seperti itu membuat Rara sedikit menyesal. Ya, sedikit.
Pernakah kalian merasakan, bagaimana rasa 'penyesalan' setelah memutuskan untuk saling tidak menghubungi pujaan hati? Gelisah dan bimbang. Rasanya jari jempol ini ingin mengotak-atik ponsel dan membuat nomor itu tidak berada dalam mode 'blokir'. Awalnya, Rara tidak menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu.
Dulu, Aga adalah segalanya.
Jika Rara adalah gula, maka Aga semutnya.
Mereka seperti saudara yang tidak terpisahkan. Menyandang sebuah nama atas dasar persahabatan. Tali yang menghubungkan raga masing-masing mereka kini akan putus. Entah, apakah mereka akan membiarkan tali raga itu putus begitu saja atau ada hal lain yang dapat memperkuat ikatan tali itu.
Karena, menyimpan perasaan cinta dalam diam itu tidak mudah.
"Ra. Untuk yang terakhir kalinya bisa bantu gue gak?"
Rara menatap Boy. Wajah cowok itu sebenarnya menampilkan mimic ragu yang sangat terlihat.
"Bisa lo omongin ke Darga? Kayanya pacarnya aja gak bisa, Ra. Mungkin lo bisa. Demi sekolahan kita. Tapi kalo lo keberatan gak us-"
"Nanti gue coba ya?"
Rara tersenyum tipis.
"Sumpah, Ra. Maaf banget."
"Santai aja. Gue gak baper kok. Demi sekolahan kita. Dan demi Dufan tentu saja." Kata Rara tersenyum. Boy menangguk, mengingat janji Farzi yang diceritakan Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA [Completed✔]
Teen Fiction"Akankah bunga itu berubah menjadi merah?" Kehidupan Razita selalu dipenuhi dengan Darga. Cowok yang tadinya tingginya lebih pendek dari Razita. Nama panggilan Razita dari Darga adalah Rara. Dan nama panggilan Darga dari Razita adalah Aga. J...